0%
logo header
Selasa, 14 Mei 2024 11:16

Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

M. Imran Syam
Editor : M. Imran Syam
Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Pernah ada suatu masa, Asmawi harus menjatuhkan satu dari dua pilihan. Menjadi Direktur Utama BNI yang masa jabatannya bisa lebih sampai dua periode atau tetap menjadi Direktur Utama BRI yang tinggal dua tahun lagi diembannya. Tawaran ini disampaikan Pak JK, seperti juga diungkapkan Prof.Idrus A.Paturusi pada acara temu kangen ini.

Namun keputusan akhir, Asmawi memilih tetap menjadi Dirut BRI dengan sisa masa tugas 2 tahun. Dia berpikir, tidak elok meninggalkan bank yang menjadi ‘almamater’-nya yang sudah memberinya kesempatan berkarier sejak dari staf hingga ke posisi puncak. Dia menjadi satu-satunya kalangan internal BRI yang mampu mencapai jabatan puncak, direktur utama. Inilah semangat yang membuat Asmawi tetap bertahan di BRI.

Kedua, Asmawi telah merencanakan BRI memiliki satelit sendiri. Ada satu hal yang sempat membuatnya marah, ketika ada pihak asing mengatakan, tahu berapa harga sebuah satelit. Dia sudah tahu harganya Rp 2,5 triliun. Sementara pada waktu yang bersamaan, BRI memiliki laba Rp 25 triliun.

Baca Juga : Obituari Hasyim Ado: Pernah Dibantingi Pistol

“Kalau laba saya Rp 25 triliun, bisa nggak punya satelit seharga Rp 2,5 triliun?,” Asmawi membatin dan sempat juga stres saat menjelang  saat akhirnya satelit sukses meluncur ke angkasa. Pasalnya, peluncurann  tiga kali tertunda. Apalagi saat itu bertepatan dengan bulan Ramadan. Peluncurannya bertepatan dengan buka puasa di Prancis 18 Juni 2016 dan  bersetuju dengan orang makan sahur 13 Ramadan  19 Juni 2016 di Indonesia. Pak JK terpaksa menunggu hingga makan sahur, kemudian melakukan wawancara TV bersama Asmawi dari Kourou, Guyana, Prancis.
“Kamu sudah puas?!,” tanya Pak JK dalam wawancara tersebut.
“Ya saya puas, terima kasih. Ini cita-cita saya,” jawab Asmawi yang berhasil menempatkan BRI merupakan pertama dan satu-satunya sebuah Bank di planet ini memiliki satelit. Ini menjadi ‘legacy’ (warisan) yang hingga kini tidak bisa dilupakan.

Ternyata awal-awal kemarahan Asmawi terpicu dalam suatu wawancara dengan media Prancis sebagai karakter media asing yang selalu melontarkan pertanyaan yang skeptis dan sangat sinis.
“Untuk apa, Anda memiliki satelit?,” pertanyaan tendensius media asing itu cukup menusuk perasaan orang Indonesia yang terkenal ramah dengan lawan bicara.
“Anda tahu, penduduk negara Anda yang 16 juta jiwa itu lebih banyak nasabah saya yang 60 juta. Negara saya terdiri atas 17 ribu pulau yang tersebar dan memerlukan satelit, sementara negara Anda yang kontinental (daratan) cukup menggunakan jalur telestrial, kabel di bawah tanah,” beber Asmawi.

Selain itu, kata Asmawi, sebelum kehadiran BRI Satelit (BRISat), BRI harus menyewa 23 transeponden dari beberapa perusahaan dengan biaya yang terus meningkat. Transponder Telkom saja sewanya Rp 2,5 miliar per bulan. Dengan membeli satelit ini penggunaannya bisa berlangsung hingga 17 tahun dan setelah itu dapat di-’extend’ (diperpanjang).

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (5-Habis)Wawancara Sambil Bermain Golf dengan Wapres

Menurut Asmawi, kehadiran BRISat dapat memberikan efisiensi penggunaan dana sampai Rp 500 miliar setiap bulan. Kehadiran satelit ini ia merasakan literasi perbankan di pelosok-pelosok itu terjangkau. Motto BRI “menjangkau yang tak terjangkau dan melayani yang tak terlayalani”.

Terobosan Asmawi yang mengantar BRI memiliki satelit ini mengundang pujian asing. Dr.Margareth Robinson dari Harvard menyebut BRI sebagai “The New Paradigma Shift Microfinance Revolution”. Lain pula Anne s. Dunham, staf  ibu Barack Obama, dari “Harvard Institute for International Development” yang pertama kali melakukan penelitian untuk mengukur “social impact” (dampak sosial) keberadaan BRI terhadap masyarakat memberikan hasil yang positif. Rekomendasinya, BRI harus mengambil peran yang lebih luas lagi dengan kehadiran satelitnya.  Seorang pakar Jerman Dr.Dirk Steinwand mengakui Indonesia sebagai “The Largest Microfinance Laboratory of the World” (Laboratorium Keuangan Mikro terbesar di dunia).

Di dalam bukunya, (hlm 235), Asmawi mengakui, kehadiran satelit ini tidak instan, tetapi sudah digagas sejak Sofyan Basir sebagai Direktur Utama BRI (2005-2010 dan 2010-2014) sebelum menjabat Dirut PLN. Jadi, kehadiran satelit ini merupakan program berkesinambungan. Pengembangan program satelit pun dilanjutkan oleh dua pejabat direktur utama pasca-Asmawi, Suprajarto dan Sunarso.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (4)Satu Malam, Bobol 4 Kantor BRI Unit

“Sudah menjadi tugas dirut-dirut selanjutnya untuk melanjutkan dan mewujudkan visi serta kebijakan strategis itu. Di sinilah letak “sustainability leadership”. Seorang yang menjabat  di posisi puncak , tak boleh serta merta mengganti kebijakan dan membatalkan program bagus yang sudah dirancang dan disiapkan oleh pendahulunya,” tulis Asmawi. . 

Apa yang diwujudkan Asmawi tersebut merupakan sesuatu yang monumental. Bayangkan saja, katanya, kalau gagal, setahun setelah menjabat, dia akan dipecat di BRI. Penyebabnya, mewujudkan satelit itu dianggap ide gila.
Oleh sebab itu, setiap Asmawi masuk ke BRI selalu disebut “bank desa, bankir desa”. Maka tidak heran, per Maret 2024 lalu, laba bersih BRI mencapai Rp 25 triliun.

Setelah menjabat Dirut BRI (Persero) Tbk, Asmawi menjabat President Director/CEO PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo, Persero) tahun 2017, President Director/CEO PT Jiwasraya (Persero) 2018, President Commisioner PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., dan terakhir serbagai Komisaris BNI.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (2)Tiga ‘Jimat’ yang Buat ‘Survive’

Ternyata Asmawi dipasang pada perusahaan BUMN (persero) yang mengalami sakit. Bos-bos dari perusahaan BUMN itu berurusan dengan kejaksaan. Ini membuat dia sempat stres karena setiap ada perusahaan yang tidak beres,  selalu diberi tugas untuk membereskannya. Dia akhirnya melapor ke Menteri BUMN agar cukup menjadi Staf Khusus Menteri BUMN saja sebelum berlabuh sebagai Komisaris  BNI berdampingan dengan  Komisaris Utama (2020-2023) Agus Martowardoyo yang mantan Gubernur Bank Indonesia.  Lantaran dikenal bertangan dingin memenej lembaga keuangan, Asmawi selain sebagai Komisaris, juga ditimpali tugas sebagai Ketua Audit pada bank milik pemerintah ini.

Asmawi juga sukses memimpin organisasi profesi seperti sebagai Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan Ketua Himpunan Penjaminan dan Perasuransian Milik Negara (Himppara), dan menjadi staf Khusus Menteri BUMN RI Bidang Pemberdayaan Ekonomi dan menjadi ‘steering committee holding’ jasa keuangan BUMN (2019). Atas prestasinya itu, Asmawi memperoleh penghargaan “Tokoh Sinergi BUMN” dari Kementerian BUMN di Istana Negara pada tahun 2016.
Selain jabatan-jabatan pada organisasi profesi tersebut pada banyak organisasi lain dia juga terlibat. Ketika Pak JK menjabat Ketua Umum IKA Unhas, Asmawi pun termasuk pengurus inti. Kini dia bergabung dengan Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat yang dipimpin Pak JK dan juga Pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI) Pusat dan diposisikan sebagai Ketua Bidang Bencana Nasional dan Internasional. Kehadirannya selama beberapa hari ke Makassar hingga meluangkan waktu  bertemu kangen dengan para guru dan sahabatnya itu merupakan lawatannya ke Luwu untuk memberikan bantuan kepada para korban yang diterjang banjir bandang di daerah itu.
Cita-cita Asmawi menurut pengakuannya, adalah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Unhas. Sayang, saat Kak Taslim Arifin menjabat Ketua DM Unhas dan bertepatan dengan dia Ketua Senat Fakultas Ekonomi, itu merupakan periode terakhir organisasi dewan mahasiswa di Indonesia karena dibekukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef (alm.).
Asmawi terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi dalam suatu pemilihan langsung, bersaing dengan Azis Mangkona. Merupakan satu kebanggaan karena dia bisa menjadi seorang aktivis pada masa yang sangat tepat. Menjadi alumni sebuah universitas itu penting, tetapi memiliki idealisme juga jauh lebih penting. Dengan idealisme kita memiliki banyak kesempatan berpartisipasi dalam berbagai pekerjaan.

“Dan, ternyata ijazah itu hanya untuk kepentingan administratif belaka. Banyak orang yang selesai S-2 dan S-3 di luar negeri, sekembali ke tanah air justru ada yang tidak bisa berkembang.” pungkas Asmawi komentarnya bersama Prof.A.Husni Tanra dan Prof.Idrus A.Paturusi yang ternyata menghabiskan waktu 59 menit itu. (M. Dahlan Abubakar,Bersambung)

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646