0%
logo header
Senin, 07 Februari 2022 07:39

Renungan Hari Pers Nasional 2022: Kebebasan Pers VS Kekerasan Terhadap Wartawan

Redaksi
Editor : Redaksi
Renungan Hari Pers Nasional 2022: Kebebasan Pers VS Kekerasan Terhadap Wartawan

Oleh: M. Dahlan Abubakar (Tokoh Pers versi Dewan Pers/Pimpinan Redaksi Republiknews.co.id)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Meningkahi hiruk pikuk peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Kendari Sulawesi Tenggara 7-10 Februari 2022, saya menurunkan satu tulisan yang berkaitan dengan masalah krusial yang menghantui insan pers saat ini, yakni kekerasan terhadap wartawan di tengah dunia pers Indonesia menikmati kebebasan pers atas jasa era reformasi 1998. Catatan ini diharapkan dapat menjadi bahan instrospeksi diri bagi seluruh insan pers Indonesia dalam mengemban amanat institusi UU Nomor 40 Tahun 1999 dan seluruh perangkat peraturan yang berkaitan dengan pers yang menyertainya.

Trend kebebasan pers Indonesia sepanjang era reformasi meningkat, dibandingkan ketika pemerintahan Orde Baru. Pada tahun 2015, dari 180 negara, Indonesia berada pada urutan ke-138. Hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebutkan antara 2006-2016, kekerasan terhadap wartawan rata-rata 52 kasus per tahun. Kekerasan terbanyak pada tahun 2007 sebanyak 75 kasus dan pada tahun 2009 sebanyak 38 kasus, dan 2016 sebanyak 80 kasus. Per 2 Mei 2017 saja mencapai 23 kasus, terbanyak terjadi di Jakarta. Total 30 kasus, Medan 21 kasus, dan Papua (Barat) 28 kasus pada periode 2006-2016.

Baca Juga : Obituari Hasyim Ado: Pernah Dibantingi Pistol

Di balik kebebasan pers yang dinikmati insan pers Indonesia, namun ada masalah internal dan eksternal yang serius dihadapi insan pers Indonesia. Berdasarkan data organisasi wartawan tanpa batas 11 kasus pembunuhan menimpa wartawan Indonesia, khususnya media cetak atau pun media daring lantaran terkait pemberitaan masalah korupsi dan politik daerah. Sebanyak 50% pelaku kekerasan terhadap wartawan itu adalah oknum aparat pemerintah.

Insiden penganiayaan terhadap jurnalis  menimpa Nurhadi, jurnalis Tempo misalnya termasuk yang mengemuka tahun 2021. Kekerasaan itu terjadi saat dia hendak melaksanakan aktivitas jurnalistik, Sabtu (27/03/2021). Serangan terhadap wartawan itu  melanggar kebebasan pers dan melanggar KUHP serta Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Insiden terjadi saat sejumlah pengawal Angin Prayitno Aji menuduh Nurhadi masuk tanpa izin ke acara resepsi pernikahan anak Angin di Gedung Graha Samudera Bumimoro (GSB) di kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan laut (Kodiklatal) Surabaya, Jawa Timur, Sabtu 27 Maret 2021 malam. Meski sudah menjelaskan statusnya sebagai wartawan Tempo yang sedang menjalankan tugas jurnalistik, mereka tetap merampas telepon genggam Nurhadi dan memaksa untuk memeriksa isinya. Nurhadi juga ditampar, dipiting, dipukul di beberapa bagian tubuhnya.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (5-Habis)Wawancara Sambil Bermain Golf dengan Wapres

“Untuk memastikan Nurhadi tidak melaporkan hasil reportasenya, dia juga ditahan selama dua jam di sebuah Hotel di Surabaya, demikian salah satu berita yang beredar di grup whatsapp PWI, Ahad (28/03/2021).

Tempo atau siapa pun wartawan menilai kekerasan ini merupakan tindak pidana yang melanggar setidaknya dua aturan yakni pasal 170 KUHP mengenai penggunaan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang, dan pasal 18 ayat 1 UU Pers tentang tindakan yang menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik. Ancaman hukuman untuk pelanggaran ini adalah seberat-beratnya lima tahun enam bulan penjara serta dua tahun atau denda Rp 500 juta.

Media Abal-abal

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (4)Satu Malam, Bobol 4 Kantor BRI Unit

Selain kekerasan terhadap jurnalis akibat persoalan eksternal, juga yang tidak kalah pentingnya adalah berkaitan dengan masalah internal jurnalis itu sendiri. Masalah internal yang saya maksudkan di sini adalah munculnya banyak media abal-abal, sehingga berpotensi tidak taat asas dalam praktik pelaksanaan kegiatan jurnalstik di lapangan. Menjamurnya media abal-abal meningkahi lahirnya era reformasi, termasuk salah satu masalah dari empat masalah yang dihadapi dunia pers Indonesia sebagaimana dilansir Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada Kongres Luar Biasa Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) 17 April 2015 di Malang. Tiga masalah lainnya, berkaitan dengan dominasi kepemilikan, media partisan, dan media yang tidak mendidik dengan menyajikan materi berbau pornografi.

Kasus kekerasan wartawan menimpa Marasalem Harahap, seorang wartawan media online di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara yang berujung dia ditemukan tewas 19 Juni 2021 dini hari. Dia diduga ditembak oleh orang tak dikenal (OTK). Menurut kakak kandung korban, Hasanudin Harahap, jenazah adiknya ditemukan di dalam mobil. Mobil tersebut berada 300 meter dari rumah Marasalem di Huta 7, Pasar 3 Nagori Karang Anyer, Kabupaten Simalungun.

Kita memang sangat mengecam tindakan pembunuhan terhadap korban yang merupakan pemimpin redaksi media online lassernewstoday.com. Setelah membaca musibah yang menimpa wartawan tersebut karena tidak dijelaskan secara rinci kemungkinan penyebab kematiannya, saya kemudian membuka laman media daring tersebut dan membaca sejumlah berita yang pernah media itu tayangkan. Saya mencatat lima berita kontrol yang saya jadikan sampel, semuanya tidak disertai konfirmasi atau “check and rechek” berkaitan dengan keberimbangan berita sebagaimana diamanatkan pada pasal 5 Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Pedoman pemberitaan media siber berbunyi: Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi. Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan. Ketentuan tersebut dikecualikan, dengan syarat: Berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak; Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten; Subjek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai;

Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.

Dari lima berita yang tanpa verifikasi yang dimuat di dalam media daring “lassernewstoday.com” tersebut terdapat dua berita kontrol yang berkaitan dengan aparat dan instansi penegak hukum. Kedua berita tersebut kontennya sudah menjurus kepada “trial by the press” (penghakiman oleh pers). Saya menduga, musibah yang menimpa wartawan tersebut bermula dan disebabkan oleh kedua pemberitaan yang tidak berimbang ini,.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Pada tanggal 6 Februari 2022 saya kembali membuka laman media daring tersebut untuk melihat konten pemberitaannya pascatertembak pemimpin redaksi media daring itu. Secara umum berita-berita yang terkait dengan instansi pemerintah dan penegak hukum kebanyakan bersifat seremonial dan tidak berpotensi menimbulkan delik pers. Namun dari dua berita kontrol yang saya temukan, media tersebut tidak melakukan verifikasi dan hanya menulis bahwa berita ini belum diverifikasi.

Belajar dari kasus wartawan yang ditembak OTK tersebut, insan pers Indonesia harus mengintrospeksi diri terus menerus agar kejadian serupa tidak terulang atau kekerasan fisik terhadap wartawan tidak terjadi lagi. Apalagi di tengah kompetensi media saat ini demi mengejar kecepatan, kerap wartawan abai terhadap akurasi dan verifikasi.

Dirgahayu Hari Pers Nasional!

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646