0%
logo header
Jumat, 05 April 2024 10:39

Kisah Balla Lompoa Ri Gowa, Dari Istana Kerajaan Kini Menjadi Museum Sejarah

Chaerani
Editor : Chaerani
Museum Balla Lompoa yang terletak di Jalan KH Wahid Hasyim, Kelurahan Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. (Foto: Istimewa)
Museum Balla Lompoa yang terletak di Jalan KH Wahid Hasyim, Kelurahan Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. (Foto: Istimewa)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, GOWA — Balla Lompoa Ri Gowa atau saat ini dikenal sebagai Musuem Balla Lompoa memiliki sejarahnya sendiri.

Balla Lompoa Ri Gowa yang berlokasi di Jalan KH. Wahid Hasyim, Kota Sungguminasa ini dulunya dijadikan sebagai Istana Kerajaan Gowa. Balla Lompoa ri Gowa ini dibangun sejak tahun 1936 sebagai kediaman Raja Gowa XXXVI Mangi Mangi Daeng Matutu Karaeng Bontonommpo yang bergelar Sultan Muhammad Tuhir Muhibuddin.

Dengan dibangunnya Balla sebagai kediaman Raja juga sekaligus sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Gowa, pada 1936 Gowa mengalami perubahan dalam pemerintahan dengan adanya orderofdeling. Gowa mempunyai 13 adat Gemeinschap. Dalam perkem- bangan Gowa direhabilisasi menjadi daerah Swapraja, dengan diangkatnya I Mangi Mangi Daeng Matutu sebagai Raja Gowa.

Baca Juga : Manfaatkan AI, Indosat Perkuat Posisi jadi Pionir Teknologi

Sebelum Balla Lompoa dibangun, sudah ada tempat kegiatan untuk melaksanakan pemerintahan Kerajaan Gowa Orderofdeling yang berlokasi tidak jauh dan Balla Lompoa dengan di antarai lapangan Bungaya, tepatnya di lokasi kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang kini sudah menjadi lokasi rumah toko (ruko).

Setelah Raja Gowa XXXV wafat pada 1946, beliau digantikan oleh putranya Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang menjadi Raja Gowa terakhir yakni ke-36. Sebelum menjadi Raja, Andi Ijo pernah mendampingi ayahnya dalam pemerintahan dengan jabatan Tumailalang (Jabatan inti dibawah Raja). Setelah Andi Ijo menjadi Raja, la diberi gelar Sultan Muhammad Abdul Qadir Aididdin.

Dalam pemerintahan Andi Ijo, sistem pemerintahannya berubah dan bentuk swapraja menjadi swatantra, maka praktis beliau adalah Raja Gowa terakhir dengan terbentuknya sebagai daerah otonom tingkat II. Pada saat itu, Andi Idjo Karaeng Lalolang diangkat menjadi Kepala Daerah tingkat II Gowa pertama sebagai Kepala Daerah Gowa.

Baca Juga : Ekspansi Jaringan ke Wilayah Timur, Trafik Data Indosat di Kalisumapa Melaju

Ini didasarkan atas keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor UP.7/2/24 tanggal 6 Februari 1957. Masa pemeritahannya dan tahun 1946 hingga tahun 1960. Setelah jabatan Andi Ijo berakhir sebagai Kepala Daerah Tingkat II Gowa Pertama, beliau lalu pindah ke Jongaya. Pada Tanggal 09 Januari 1978 beliau wafat dan diberi gelar Tumenanga ri Jongaya artinya orang yang wafat di Jongaya. Makam beliau berdekatan dengan Masjid Tua dan Makam Raja-raja di Katangka.

Dengan berakhirnya sistem pemerintahan Kerajaan Gowa di Balla Lompoa, otomatis fungsi Balla Lompoa berubah status yakni dan istana menjadi sebuah meseum. Perubahan status ini didasarkan atas SK Bupati KDH Gowa Nomor 77/AU/1973 tanggal 11 Desember 1973. Di samping dijadikan museum, juga berfungsi sebagai Pusat Kebudayaan Makassar Gowa.

Museum Balla Lompoa merupakan bangunan bersejarah. Saat ini keberadaannya menjadi salah satu obyek wisata menarik, di dalam kawasan Balla Lompoa juga terdapat Baruga Tamalate yang bangunannya jauh lebih besar dibandingkan Balla Lompoa. Tujuan dijadikan sebagai museum adalah untuk menyelamatkan warisan budaya bangsa yang sudah hampir punah, memantapkan ketahanan nasional di bidang kebudayaan.

Baca Juga : Kuartal I 2024, Kinerja Keuangan Indosat Ooredoo Hutchison Meningkat 15,8 Persen

Di samping punya nilai historis, Balla Lompoa juga memiliki nilai religius yang berpedoman pada falsafah hidup manusia. Masyarakat Gowa memiliki pandangan komologi dan berfikir bahwa hidup ini hanya tercapai bila antara makroosmos dan mikrokosmos senantiasa terjalin hubungan harmonis.

Atas dasar falsalah ini tercermin dalam rumah adat Makassar Gowa, misalnya, pandangan bahwa alam semesta ini secara horizontal bersegi empat (Sulapa’ Appa’). Pandangan ini pula tercermin dalam bentuk tiang rumah serta areal tanah yang ditempati, semuanya bersegi empat.

Falsafah Sulapa’ Appa’ ini kalau dikaitkan dengan unsur kejadian manusia itu sendiri juga terjadi empat unsur yakni, tanah, api, air, dan angin. Seorang manusia itu mempunyai tubuh dan anggota-anggota badannya serta alat pancaindra, oleh karera itu seluruh rumah juga harus mempunyai alat-alat tubuh.

Baca Juga : Bupati Gowa: Kami Bangga dan Berterimakasih Untuk Garuda Muda

Hal ini pun dapat dilihat pada empat alat-alat tubuh manusia yang erat kaitannya dengan falsafah rumah adat tersebut. Pertama, seorang manusia mempunyai selangkang, maka pada rumah adat Gowa ini disebut bate bate. Kedua, seorang manusia mempunyai tulang punggung, pada rumah tersebut disebut Aju lekke.

Ketiga, seorang manusia mempunyai kaki, maka pada rumah adat ini disebut benteng (tiang), dan keempat, seorang manusia mempunyai urat nadi, maka pada rumah itu disetut pattodo. Hal ini pulalah yang menyebabkan Istana Balla Lompoa itu adalah rumah panggung atau rumah yang memakai tiang (Benteng).

Dasar ukuran yang dipakai untuk membangun itu sendiri yaitu lamak (Makassar). Lebar Rumah ini diambil dari ukuran lamak orang yang menempati bangunan tersebut, panjang lamak itu dibagi tiga atau dilipat tiga kemudian diambil dua pertiganya, lalu yang dua pertiga itu dibagi delapan atau dilipat delapan lagi. Tetapi diusahakan agar bilangan ukurannya itu ganjil umpamanya 7,9 atau 11, dan seterusnya.

Baca Juga : Bupati Gowa: Kami Bangga dan Berterimakasih Untuk Garuda Muda

Tinggi Puncak ini diambil dari padongko ditambah dua jari wanita atau isteri dan pemilik rumah. Tinggi kolong (Pa risingan) pada bangunan ini diukur ketika kita berdiri sampai pada telinga dan pada waktu duduk sampai pada mata (laki-laki), kemudian dijumlahkan maka jumlahnya itulah merupakan tinggi kolong.

Tinggi kolong berfungsi sebagai tempat ternak, tempat menumbuk, menenun serta macam-macam pekerjaan yang tidak dikerjakan di atas rumah. Posisi bangunan tidak boleh didirikan pada sembarang tempat tetapi harus dipilihkan tempat yang baik yang bisa membawa bahagia pada pemiliknya.

Umumnya posisi bangunan arahnya melintang timur barat, bekas cabang merupakan cacat pada kayu yang akan dijadikan tiang-tiang tertentu pada bangunan. Waktu untuk mendirikan bangunan harus dipilihkan waktu yang baik misalnya awal Kamis (hari Kamis pertama) setiap bulan.

Baca Juga : Bupati Gowa: Kami Bangga dan Berterimakasih Untuk Garuda Muda

Secara vertikal, kosmos ini terdiri dari langit, bumi pertiwi yang menjadi angka tiga adalah angka kosmos. Pandangan tiga kosmos ini menandakan ada dunia atas, tengah dan dunia bawah ini pula tergambar dalam bentuk rumah adat orang Makassar yang terdiri dari tiga susun, yakni bagian atas rumah disebut Loteng (Pammakkang), bagian tengah merupakan badan rumah (Kale balla) dan pada badan bawah rumah disebut kolom (passiringan).

Dari sekian banyak tiang, terdapat salah salu tiang tengah yang disebut pocci balla (pusat rumah). Pada bagian rumah induk lagi terdapat beberapa ruangan yang dimanifestasikan sebagai ciri manusia, yakni ruangan depan, (padda serang riolo) dianggap sebagai kepala manusia, ruang tengah (padaserang ri tangnga) dianggap sebagai badan manusia (mulai leher hingga perut), dan ruangan belakang (paddaserang ri boko) dianggap sebagai kaki manusia.

Balla Lompoa bubungannya terdiri atas 5 susun, yang merupakan manifestasi dan kehidupan makokosmos. Demikian pula dengan anak tangga yang berjumlah 13, tiang 79 buah, jendela 27 buah, dan pintu 11 buah, yang kesemuanya menggambarkan angka ganjil luas keseluruhan Bangunan Balla Lompoa adalah 32 m x 20 m, dengan tinggi 7 meter, dengan petak kamar sebanyak 10 buah.

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646