REPUBLIKNEWS.CO.ID, JAKARTA — Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melanjutkan kasus pinjaman online (pinjol) ke tahapan penyelidikan, setelah melalui proses penyelidikan awal sejak 4 Oktober 2023.
Dalam tahap penyelidikan ini, KPPU telah menetapkan 44 penyelanggara peer-to-peer (P2P) lending sebagai Terlapor atas dugaan pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, khususnya pasal 5 terkait penetapan harga.
Direktur Investigasi, Kedeputian Penegakan Hukum KPPU Gopprera Panggabean mengatakan, pada tahap penyelidikan yang ditetapkan melalui Rapat Komisi pada 25 Oktober 2023 tersebut, KPPU akan memanggil para pihak termasuk terlapor, saksi, atau ahli yang berkaitan guna mengumpulkan alat bukti yang cukup terkait dugaan pelanggaran.
Baca Juga : Inovasi Sahabat Lapor Gowa Berhasil Tingkatkan Aduan Masyarakat
“KPPU telah selesai melaksanakan penyelidikan awal atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha pinjol yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI),” katanya dalam keterangannya, kemarin.
Dalam tahap tersebut lanjutnya, AFPI telah menerbitkan Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi secara bertanggung jawab yang mengatur penetapan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya (selain biaya keterlambatan) yang tidak melebihi suku bunga flat 0,8 % per hari, yang dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman.
Ia mengungkapkan, pada 2021 lalu, besaran tersebut diatur tidak melebihi 0,4% per hari. Dimana setiap anggota AFPI wajib menandatangani suatu pakta integritas yang didalamnya mewajibkan anggota untuk tunduk pada pedoman yang dibuat asosiasi tersebut.
Baca Juga : Satgas PASTI, Upaya Kolaborasi OJK Perkuat Pelindungan Konsumen
Dalam penyelidikan awal, KPPU telah melakukan berbagai kegiatan pengumpulan informasi, termasuk permintaan informasi secara tertulis kepada para anggota AFPI dan permintaan keterangan dari 5 lima penyelenggara P2P lending, AFPI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Melalui proses tersebut, KPPU telah memperoleh satu alat bukti dugaan pelanggaran pasal 5 dan memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan ke tahap penyelidikan.
“KPPU juga menemukan bahwa tujuan pengaturan AFPI atas penetapan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya tersebut adalah untuk melindungi konsumen dari biaya predatory lending, atau praktik pemberian pinjaman yang mengenakan syarat ketentuan bunga atau biaya-biaya yang tidak wajar bagi penerima pinjaman atau tidak memperhatikan kemampuan membayar kembali penerima pinjaman,” terangnya.
Proses penyelidikan akan berlangsung tertutup selama 60 hari kedepan, dan tidak tertutup kemungkinan adanya perpanjangan masa penyelidikan ataupun penambahan terlapor, bergantung pada alat bukti yang diperoleh. Pada proses tersebut, KPPU akan membuktikan apakah perilaku beberapa penyelenggara P2P lending yang menerapkan suku bunga yang sama tersebut merupakan hasil kesepakatan diantara para suku bunga yang lebih rendah dari para pesaingnya, serta memberikan berbagai pilihan fasilitas dan tarif suku bunga bagi konsumen.