0%
logo header
Rabu, 06 Maret 2024 11:38

Ratusan Petani di Polongbangkeng Takalar Tolak Perpanjangan HGU PTPN XIV

Chaerani
Editor : Chaerani
Ratusan petani termasuk perempuan melakukan aksi protes di depan Kantor Bupati Takalar dan BPN Takalar guna menolak dilakukannya perpanjangan atas sertifikat HGU PTPN XIV Takalar untuk kembali memanfaatkan tanah warga untuk keperluan perusahaan, kemarin. (Dok. GRAMT)
Ratusan petani termasuk perempuan melakukan aksi protes di depan Kantor Bupati Takalar dan BPN Takalar guna menolak dilakukannya perpanjangan atas sertifikat HGU PTPN XIV Takalar untuk kembali memanfaatkan tanah warga untuk keperluan perusahaan, kemarin. (Dok. GRAMT)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, TAKALAR — Sebanyak 300 petani dari delapan desa dan kelurahan di Kecamatan Polongbangkeng Utara bersama Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) masih menolak dilakukannya perpanjangan Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV Takalar.

Penolakan ini dilakukan dengan melalui aksi di Kantor Bupati Takalar dan BPN Takalar guna merespon atas berakhirnya HGU PTPN XIV Takalar pada 23 Maret 2023 dan yang akan berakhir pada 09 Juli 2024.

Pendamping Hukum LBH Makassar Melisa mengatakan, aksi tersebut merupakan upaya untuk merebut kembali tanah yang telah dirampas sejak puluhan tahun lalu.

Baca Juga : Gandeng Media, Bawaslu Sulsel Perkuat Kinerja Kehumasan Jelang Pilkada Serentak 2024

“Dengan berakhirnya HGU PTPN tersebut, warga sudah sepatutnya memiliki hak untuk kembali mengelola tanah. Pemerintah daerah juga wajib memastikan hal ini terpenuhi,” ujarnya dalam keterangannya, kemarin.

Dalam kasus ini, tanah-tanah warga diambil secara paksa melalui tindakan intimidatif dengan jalan kekerasan oleh aparat keamanan. Misalnya, pada 1978 lalu aparat tidak segan-segan menembak warga, dan memaksa warga untuk menerima ganti rugi yang tidak layak dari pemerintah.

“Tidak terima tanahnya diambil, warga kemudian melakukan berbagai perlawanan hingga saat ini. Mereka menolak perampasan tanahnya dan terus berjuang untuk merebut kembali tanah mereka,” terangnya.

Baca Juga : Surya Paloh Imbau Kader NasDem Solid Menangkan Duet ASS-Fatma di Pilgub Sulsel 2024

Sementara, Daeng Ngati, Petani Perempuan Desa Lassang Barat mengatakan, perampasan tanah ini berdampak pada ketidakmampuannya untuk mengolah sendiri lahannya. Sehingga menjadikan para petani tidak mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

“Kami dijanji oleh pemerintah bahwa tanah kami hanya dikontrak selama 25 tahun. Setelah itu akan dikembalikan lagi kepada masyarakat. Tapi nyatanya, sejak tanah kami diambil sampai sekarang tidak dikembalikan oleh pemerintah dan perusahaan,” ujarnya.

Bahkan, tidak sedikit dari mereka dengan terpaksa menjadi buruh tani di tanahnya sendiri, buruh bangunan, dan bahkan harus meninggalkan kampung untuk bermigrasi mencari pekerjaan.

Baca Juga : Lewat CSR Penanaman Mangrove di Berbagai Daerah, Yamaha Indonesia Upayakan Reduksi Emisi Karbon

“Kami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan untuk membiayai anak sekolah juga susah karena sudah tidak ada tanah yang bisa dikelolah,” ungkapnya.

Di tempat yang sama, Perwakilan GRAMT Ijul mengungkapkan, keberadaan pabrik gula di Takalar sejak awal berdirinya pada 1978 telah melakukan perampasan tanah, dan berlangsung hingga saat ini. Pabrik gula yang telah merampas tanah warga untuk dijadikan kebun tebu dengan luas lahan HGU 6.650 hektar (Ha), yang tersebar di 11 desa di Kecamatan Polongbangkeng dan Polongbangken Utara, Kabupaten Takalar.

“Setelah puluhan tahun tanah warga dirampas, barulah perusahaan memiliki legalitas konsesi HGU di 1994 dan 1998. Tahun ini HGU perusahaan sudah habis, inilah momentum agar tanah petani dapat dikembalikan,” terangnya.

Baca Juga : Penguatan Produk Hukum Daerah, Bapemperda DPRD Sulsel Hadiri Rakornas di Kaltim

Ia menegaskan, perampasan tanah tersebut telah berdampak pada penindasan dan Pemiskinan struktural terhadap warga Takalar.

“Puluhan tahun setelah petani dipisahkan dari tanahnya mereka hidup dalam kemiskinan yang diakibatkan oleh kebijakan negara yang mengabaikan hak mereka,” terangnya.

Berakhirnya HGU PTPN Takalar, menjadi legalitas petani untuk kembali merebut tanah untuk dikelola yang selama puluhan tahun dikuasai PTPN Takalar. Pernyataan ini diperkuat oleh Muhammad Nur, selaku Staf Seksi Sengketa BPN.

Baca Juga : Penguatan Produk Hukum Daerah, Bapemperda DPRD Sulsel Hadiri Rakornas di Kaltim

Ia menegaskan bahwa hingga saat ini belum memasukkan permohonan perpanjangan HGU, dan telah bersurat ke Komnas HAM perihal hal itu.

Sebanyak tiga poin tuntutan yang dilayangkan warga Polongbangkeng bersama GRAMT dalam aksi penolakannya. Pertama, pemerintah dalam hal ini Bupati Takalar tidak memberikan rekomendasi perpanjangan HGU kepada PTPN XIV Takalar, sebelum tanah-tanah warga dikembalikan.

Kedua, BPN tidak menerbitkan sertifikat perpanjangan HGU PTPN Takalar, sebelum tanah-tanah warga yang dulu dirampas dikembalikan kepada warga. Ketiga, anggota Kepolisian dan TNI tidak melakukan upaya intimidatif dalam bentuk apapun terhadap warga yang sedang berjuang merebut kembali hak atas tanah.

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646