0%
logo header
Jumat, 25 Agustus 2023 02:00

Hurgronje Seorang Muslim Murjiah, Buku “Rihlah ke Mancanegara” Ahmad Sewang Diluncurkan

Mulyadi Ma'ruf
Editor : Mulyadi Ma'ruf
Hurgronje Seorang Muslim Murjiah, Buku “Rihlah ke Mancanegara” Ahmad Sewang Diluncurkan

REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — “Rihlah (lawatan) ke Mancanegara,” demikian judul buku Guru Besar UIN Alauddin Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, yang diluncurkan di Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Alauddin, Kamis (24/08/2023) siang. Dr.Bersihannor, Akademisi UIN Alauddin menjadi pembicara tunggal dalam acara peluncuran buku yang dimoderatori tuan rumah Dr.Firdaus Muhammad, Dekan FDK UIN Alauddin.

Buku setebal 108 halaman dan diterbitkan Pustaka Taman Ilmu Makassar ini bercerita tentang perjalanan penulis ke berbagai Negara, seperti ke Negeri Belanda, tempat penulis selama setahun pernah meneliti. Negara lain yang juga disambangi adalah Prancis, Australia, Iran, Malaysia, Brunei Darussalam, Turki, Arab Saudi, Amerika Serikat, Kairo (Mesir), Jepang, Inggris, dan India. Catatan-catatan mengunjungi negara-negara tersebut termuat di dalam buku ini.

Hanya saja, sebagai laporan perjalanan, konten buku ini hanya membahas secara sepintas tentang aktivitas penulis di negara-negara yang dikunjungi. Satu tulisan yang menarik justru ada pada halaman 40 di bawah judul “Apakah C.Snouck Hurgronje Seorang Muslim?”, juga sedikit memerlukan latar belakang sejarah.

Prof.Ahmad M.Sewang mengisahkan pertemuannya dengan Prof.Karel Steenbrink, salah seorang missiology Katolik, yang mengundangnya menyaksikan upacara keagamaan Tarekat Naqsabandiah di Masjid Ridderkerk, tidak jauh dari Kota Rotterdam. Masjid ini merupakan bantuan Pemerintah Belanda yang sekuler dan disebutnya bukan sebagai bantuan keagamaan, melainkan bantuan kebudayaan.

“Sebelum ke Ridderkerk, lebih dahulu kami dibawa ke kuburan Snouck Hurgronje di Leiden. Saya juga bertanya,”Apakah dia (Hurgronje) muslim atau bukan,” tulis Prof. Ahmad M.Sewang.

Prof. Steenbrink menjelaskan, Hurgronje pernah masuk Islam ketika ditugaskan Hindia Belanda sebagai diplomat di Jeddah. Di sana dia masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Gafar. Nama ini membuat Hurgronje bebas masuk Kota Suci Mekkah, yang haram bagi orang nonmuslim.

“Sampai menjelang kematiannya belum pernah terdengar keluar dari Islam. Jika dia muslimin bukanlah muslim yang baik karena tidak pernah melaksanakan kewajiban agamanya sebagai muslim, seperti Salat. Jika dia Kristen, ia pun Kristen tidak baik sebab tidak pernah ke gereja,” tulis Ahmad M.Sewang.

Pada saat Hurgronje meninggal, masih menurut Steenbrink yang diungkapkan Ahmad M.Sewang, jenazahnya diselenggarakan berdasarkan upacara Islam Ahmadiah karena Ahmadiah-lah yang pertama memperkenalkan Islam di Belanda.

Simpulan Steenbrink, menurut Ahmad M.Sewang, Hurgronje adalah muslim bermazhab Murjiah, yakni mazhab yang menganggap jika seseorang sudah bersahadat (dianggap Islam) walaupun belum menjalankan kewajiban Islam lainnya.

Yang tidak kalah menarik bagi Ahmad M.Sewang, ternyata Prof. Steenbrink ikut masuk ke dalam Masjid, mengikuti tamunya yang menunaikan Salat Tahiyatul Masjid. Tidak hanya itu, Steenbrink juga menunaikan Salat Penghormatan Masjid tersebut.

“Kenapa Bapak juga ikut salat?,” Ahmad M.Sewang bertanya melihat Prof. Sreenbrink juga ikut menunaikan Salat. “Salat lebih baik daripada saya langsung duduk,” jawab Steenbrink diplomatis yang dipahami Ahmad M.Serwang sebagai gambaran keberagaman di Negeri Kincir Angin itu.

Informasi tentang Snouck Hurgronje ini termasuk mungkin baru. Hanya saja bagi pembaca awam perlu mengetahui hubungan Hurgronje dengan Indonesia, khususnya Aceh. Sisi ini yang kurang terungkap di dalam tulisan tersebut. Hurgronje sebenarnya “sangat berjasa” kepada umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah rukun Islam kelima di Tanah Suci. Pasalnya, setelah orang Aceh kembali menunaikan rukun Islam tersebut harus menambahkan kata “haji” (H.) di depan namanya. Kata itu (hajjah bagi perempuan) hingga kini melekat di depan nama orang Indonesia yang sudah menunaikan rukun Islam kelima itu. Tambahan “haji” tidak ditemukan pada nama orang muslim yang sudah berhaji pada sejumlah negara lain di dunia.
Bagi rakyat Aceh penambahan satu kata tersebut mungkin merupakan suatu kehormatan dari seorang Hurgronje. Namun pihak Hindia Belanda, negara asal si Hurgronje itu, penyematan satu kata itu sebenarnya dimaksudkan memudahkan pihak Belanda mengidentifikasi mereka yang baru kembali dari Tanah Suci dan berpikiran maju jika suatu saat berkomplot melakukan hal-hal yang tidak menyamankan Hindia Belanda.

Kemudian berkaitan dengan makam Hurgronje, akan sangat menarik jika Prof. Ahmad M.Sewang sedikit mendeskripsi keadaan malam itu. Yang terpenting, apakah ada simbol pada makam tersebut yang dapat memberi gambaran kepada para peziarah bahwa Hurgronje adalah seorang muslim.

Dr. Bersihannor sebagai pembedah tunggal buku ini, mengutip dua ayat Al-Quran dalam dua surah sebagai petanda peradaban dalam dunia Islam. Pertama, Allah menurunkan surah Al Alaq, yakni perintah kepada kita untuk membaca yang menjadi modal dasar seseorang dalam menulis. Tidak mungkin orang pandai menulis kalau dia tidak tahu membaca. Membaca itu merupakan prasyarat utama menuangkan gagasan di dalam tulisan.
“Itulah sebabnya versi yang kedua dalam peradaban itu adalah yang berbunyi ‘nun’, al qalam. Demi ‘nun’, dengan pena yang engkau torehkan seperti itu,” ujar Bersihannor.

Menurut dia, itulah sebabnya peradaban Islam menjadi ‘episentrum’ pada masanya disebabkan oleh dua prinsip menjadi kekuatan besar, yakni membaca dan kedua, menulis. Kita mengenal tokoh-tokoh besar seperti Al Ghazali, yang memiliki buku lebih tebal. Karyanya beratus-ratus karena kemampuan membaca dan menulis itu.

“Nilai-nilai itu diambil oleh Prof. Ahmad Sewang dengan tradiri membaca dan menulisnya yang saya anggap sama kuatnya dengan salat. Saya anggap luar biasa karena menulis itu dalam pikiran saya, beliau menetapkan dengan posisi rukun Islam yang tidak boleh ditinggalkan. Menulis itu tidak boleh ditinggalkan, dalam keadaan apa pun. Salat itu, meskipun kita dalam keadaan hampir sekarat, tetap akan menunaikannya,” ujar Bersihannor  kemudian menambahkan, dalam hadis dikatakan,” salat itu tiang agama” kalau dalam konsep tulis menulis ini boleh jadi “menulis adalah tiang kehidupan”.

Barangsiapa yang mengamalkan menulis, akan menghidupkan kehidupan itu. Barangsiapa meninggalkan tradisi menulis ini, dia meruntuhkan kehidupan ini.
Bersihannor menilai, salah satu penyebab keruntuhan peradaban bangsa, juga peradaban Islam, itu karena tidak lagi kuatnya tradisi membaca dan menulis. Itulah sebabnya, kata dia, kadang-kadang bingung, ketika bangun subuh, habis menjadi imam di masjid, membuka-buka media sosial whatsapp, di situ ada tulisan beliau (Ahmad Sewang). Bukan masalah tulisannya yang pertama kali dibaca, melainkan data waktunya yang tekirim. Itu terkadang pukul 03.00, berartri beliau tidak tidur pada malam itu, setelah bangun salat tahajjud. Jadi, kapan menulisnya.

“Jadi saya memberanikan diri menanyakan kepada Bunda Prof.Syamsudhuha Saleh, M.Ag. (istri Prof.Ahmad Sewang), kapan Bapak menulis,” kata Bersihannor.
“Bapak menulis tengah malam sampai subuh,” jawab Prof.Syamsudhuha, seperti diungkapkan Bersihannor.

Itulah sebabnya, gagasan beliau mengalir dalam tulisannya. Oleh karena itu, Bersihannor menulis dalam sebuah catatan, Prof.Ahmad Dewan sebagai “real Professor”.
“Kalau begitu ada yang tidak ‘real Professor’,” bunyi salah satu pengirim Wa mengomentari statemen Bersihannor tersebut. Namun Bersihannor mengatakan bahwa “Ahmad Sewang adalah ‘real; Professor’.

Menurut penilaian Akademisi UIN Alauddin ini, Ahmad Sewang adalah sosok yang sangat ‘concern’ dengan anak-anak muda. Dulu kalau kita mau pergi mengikuti seminar, harus submit dulu artikel atau makalah. Pada masa beliau menjabat Wakil Rektor I, Bersihannor bersama Firdaus Muhammad bertanya mengapa diberangkatkan ke Balikpapan? Ternyata beliau menjawab, kalian adalah anak-anak muda yang energik.

Acara bedah buku itu juga menampilkan pembicara lain dari undangan, seperti Prof.Dr.Nasir Siola, Prof.Dr.H.Rasyid Masrie, Prof.Hasyim Aidid, Yudhistira Sukatanya (Edy Thamrin), M.Dahlan Abubakar, Mahroes Andhies, Muhammad Amir Jaya yang membacakan puisi, ditutup oleh Prof. Syamsudhuha, M.Ag dan Ketua Satupena Rusdin Tompo.

Menjelang acara peluncuran dalam bincang-bincang sambil menunggu undangan lainnya hadir, Prof.Dr.Ahmad M.Sewang, M.Ag. mengingatkan akan seorang Hassan Al Banna, seorang guru dan imam asal Mesir yang terkenal dengan karyanya, “Catatan Harian Dakwah dan Dai” dan “Kumpulan Surat-Surat”. Hassan Al Banna yang mati sahid karena dibunuh oleh penguasa yang zalim  berpesan, satu peluru bisa menembus satu orang, tetapi kalau kalimat bisa mengenai beribu orang, bahkan jutaan orang.

Kemudian Mahroes Andhis tak mau kalah menimpali dengan mengutip apa yang dikemukakan oleh Moshe Dayan, mendiang mantan Perdana Menteri Israel yang bermata satu dan memerintah antara 20 Januari 1977-23 Oktober 1979, menggantikan Menahem Begin.

“Saya lebih takut pada seorang penyair daripada 100 tentara komando,” kata Mahroes mengutip tokoh yang selama perang Arab 1948 menjabat komandan pertahanan di wilayah Yordania tersebut.

Acara peluncuran buku di FDK UIN ini sudah beberapa kali dilaksanakan. Pada awal tahun 2023 diluncurkan buku “Satu Abad PSM Mengukir Sejarah” karya M.Dahlan Abubakar dan A.Widya Syahdzwina yang terbit pada tahun 2000. (*)

Penulis : M. Dahlan Abubakar
Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646