REPUBLIKNEWS.CO.ID – Jika diibaratkan hewan, jujur itu adalah hewan langka. Spesiesnya sudah sangat sedikit. Yang patut disyukuri, nasibnya belum seperti Dinosaurus yang sudah punah. Begitupun jika diibaratkan barang, jujur itu adalah barang antik. Harganya sudah sangat mahal dan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja.
Di bangsa kita, keberadaan orang jujur seperti itu adanya. Langka dan antik. Meminjam apa kata Kasino, salah satu personil group lawak legendaris Warkop DKI, bahwa bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur.
Di situasi pandemi Covid-19 ini, sangat dibutuhkan kejujuran. Jujur apakah terpapar atau tidak. Jujur apakah positif atau negatif. Terbuka pada publik. Bukan sembunyi apalagi kabur. Mengapa harus jujur? Karena dengan itu mempermudah kita untuk mencegah penularannya lebih luas lagi. Minimal kalau hasil positif, publik bisa mendoakan agar bisa pulih. Kalau negatif? Lebih baik lagi. Apa yang harus disembunyikan jika memang benar-benar tidak terpapar.
Baca Juga : Pangkas Pohon dan Relokasi PKL, Ciptakan Tatanan Kota Sungguminasa Lebih Indah
Apalagi bagi seorang tokoh yang banyak berinteraksi dengan masyarakat. Atau tokoh agama yang punya banyak pengikut dan jama’ah. Lebih-lebih tokoh yang dianggap suci oleh pengikutnya. Sudah semestinya harus jujur dan terbuka tentang kondisi kesehatannya terkait hasil Swab, terpapar Covid-19 atau tidak.
Benar, bahwa menjadi hak pasien untuk dirahasiakan soal kondisi kesehatannya. Itu sudah dijamin dalam Undang-undang no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 57 ayat (1). Tapi, disituasi pandemi Covid-19 saat ini, dimana menjadi penting bagi pemerintah maupun publik untuk mengetahui apakah seseorang terpapar Covid-19 atau tidak, guna mencegah penularannya lebih luas.
Maka atas dasar kepentingan masyarakat atau kepentingan publik tersebut, menjadi boleh untuk disebarluaskan rekam mediknya, seperti yang diamanahkan dalam UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 57 ayat (2) yang berbunyi: “Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal: a. perintah undang-undang; b. perintah pengadilan; c. izin yang bersangkutan; d. kepentingan masyarakat; atau e. kepentingan orang tersebut”.
Baca Juga : KBRI Berlin Gandeng PPI Jerman Beri Pelatihan Dasar Kepemimpinan 4.0
Terlalu formal jika kita membahasnya dengan pendekatan secara konstitusional ini. Cukup dengan pendekatan nilai, nilai kejujuran. Di situasi pandemi Covid-19 ini, kejujuran menjadi sangat berarti. Sebenarnya bukan hanya di situasi pandemi, tapi di segala situasi apapun. Tapi apalah daya, kejujuran masih menjadi sesuatu yang langka dan antik di bangsa kita sekalipun itu demi kepentingan masyarakat.
Untung saja jujur itu masih menjadi sesuatu yang langka. Belum menjadi sesuatu yang punah. Kita masih bisa melihat sikap jujur itu. Dengan jujur dan terbuka, Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Sirajh mengumumkan dirinya telah terkonfirmasi positif Covid-19. Sebagai seorang tokoh bangsa dan agama, beliau mengajarkan kita pentingnya untuk jujur dan terbuka demi saling menjaga keselamatan bersama.
Begitu juga dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Secara jujur dan terbuka mengumumkan dirinya positif Covid-19. Sebagai pemerintah, beliau memberikan contoh kepada masyarakatnya untuk bersikap jujur, bukan kabur.
Baca Juga : Wabup Gowa Harap BKPRMI Mampu Cetak Pemuda Berjiwa Pemimpin
Terpapar Covid-19 bukan lah suatu aib yang harus disembunyikan. Terpapar Covid-19 juga bukan merupakan pelanggaran pidana. Mengapa harus malu? Mengapa harus kabur? Justru dengan sikap jujur dan terbuka itu, kita bisa mengingatkan kepada sesama bahwa Covid-19 bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal status sosial, jabatan maupun kekayaan.
Yaa, begitulah adanya. Jujur memang sudah menjadi langka dan antik di bangsa ini. Tapi, jujur akan begitu ramai dan menjadi pasaran ketika mendekati momentum pesta demokrasi baik Pilkada, maupun Pemilu. Bukan ramai dalam sikap dan laku, tapi ramai dalam baliho dan spanduk Cakada maupun Caleg. Sepertinya ada benarnya, kita mesti melakukan revolusi akhlak. Revolusi akhlak yang tidak hanya tertulis dan tercetak di baliho dan spanduk, tetapi terlihat dalam sikap dan laku. Misalnya dari suka kabur, menjadi berani jujur. (*)