0%
logo header
Kamis, 29 Desember 2022 01:52

Lebih Jauh Tentang Pembagian Hak Pemajakan Berdasarkan P3B

Asril Astian
Editor : Asril Astian
Ilustrasi pajak. (Istimewa)
Ilustrasi pajak. (Istimewa)

Penulis: Raden Sukma Wardana (Pegawai Kantor Pajak)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.

Kedudukan P3B menurut penjelasan Pasal 32A UU PPh  P3B adalah lex specialis dari UU PPh. Apabila konflik      antara P3B dengan hukum domestik, maka P3B yang akan berlaku (tax treaty superceeding domestic tax laws).

Baca Juga : Golden Visa dan Pajak

Tujuan dari P3B adalah untuk membagi hak pemajakan antara dua negara sehingga P3B tidak memberikan hak pemajakan baru kepada negara yang mengadakan P3B. Pada dasarnya hak pemajakan dalam P3B (Kurniawan, 2012:45-48) dibagi menjadi 3  yakni Hak Pemajakan Penuh (exclusively taxing rights), Hak Pemajakan terbatas (limited taxing rights)  dan Pelepasan Hak pemajakan (relinguished taxing rights). Berikut penjelasan terkait masing-masing hak pemajakan dimaksud:

  1. Hak Pemajakan Penuh (Exclusively Taxing Rights)

Dengan hak pemajakan penuh (exclusively taxing rights) suatu negara diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan penduduk negara lainnya yang bersumber dari negaranya sepenuhnya sesuai dengan UU domestik negara tersebut tanpa adanya pembatasan. Dengan demikian tarif pajak dan tata cara pemajakan sepenuhnya tunduk kepada Undang-Undang domestik negara sumber tersebut.

Frasa yang digunakan dalam hak pemajakan terbatas (exclusively taxing rights)  adalah “may be taxed” tanpa adanya tambahan  frasa pengaturan mengenai pembatasan tarif tertentu.

Baca Juga : Hal Baru Tentang Mekanisme Membuka Blokir Rekening Wajib Pajak

Contoh kasus:

Mr. Albert penduduk negara Perancis memilki sebuah apartemen di Kebayoran Baru ,Jakarta Selatan. Apartemen tersebut disewakan kepada PT XYZ  yang berkedudukan di Kuningan Jakarta Selatan untuk digunakan oleh salah seorang direksinya. PT XYZ membayar sewa apartemen tersebut sebesar                      USD 20.000 per tahun kepada Mr. Albert.

P3B Indonesia – Perancis diatur bahwa:

Baca Juga : Merek Starbucks Kopi vs Starbucks Rokok, bagaimana Pajaknya?

Article 6 section (1)  :

Income from immovable property including income from agriculture or forestry may be taxed in the Contracting State in which such property is situated.”

Pasal 6 ayat (1) :

Baca Juga : PPh Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Menggunakan NPPN

“Pendapatan dari harta tak gerak, termasuk pendapatan yang diperoleh dari hasil pertanian atau kehutanan dapat dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan di mana harta itu terletak.”

Berdasarkan ketentuan P3B diatas dapat diketahui  bahwa hak pemajakan diberikan kepada Indonesia karena apartemen yang dimiliki Mr. Albert merupakan harta tak gerak yang terletak di Indonesia. Sehingga dengan demikian Indonesia memiliki hak untuk dapat memajaki. Dalam kasus ini ketentuan P3B Indonesia – Perancis tidak mengatur mengenai tarif pajak dan tata cara pemajakannya sehingga tunduk pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan.

Atas Penghasilan sewa apartemen yang diperoleh Mr. Albert terhutang PPh Final Pasal 4 ayat (2). PT XYZ melakukan pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak Luar Negeri  dengan memberikan bukti potong PPh (Withholding Tax Receipt Article 26 and Article 4 Section (2) For Non Resident ) kepada Mr. Albert, kemudian menyetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya pada SPT Masa PPh Unifikasi paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Baca Juga : PPh Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Menggunakan NPPN

Dengan Hak Pemajakan Terbatas (limited taxing rights) negara sumber diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan penduduk negara lainnya yang bersumber dari negara tersebut, namun dengan pembatasan tarif. Dengan demikian apabila tarif pajak menurut UU domestik lebih tinggi dari tarif yang ditentukan dalam P3B maka tarif pajak yang diterapkan adalah tarif pajak menurut ketentuan P3B.

Frasa yang digunakan dalam hak pemajakan terbatas  (limited taxing rights) adalah “ may be taxed” ditambah dengan frasa pengaturan mengenai pembatasan tarif tertentu “….the tax so charged shall not exceed…”

Baca Juga : Hal Baru Tentang Mekanisme Membuka Blokir Rekening Wajib Pajak

Contoh kasus:

Baca Juga : PPh Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Menggunakan NPPN

ABC System Inc. sebuah perusahaan yang merupakan penduduk Korea Selatan memberikan pinjaman USD 1.000.000.000 kepada PT XYZ yang berkedudukan di Indonesia. Atas pinjaman tersebut PT XYZ diwajibkan membayar bunga pinjaman sebesar USD 50.000.

P3B Indonesia-Korea Selatan diatur bahwa:

Article 11 section (1):

Baca Juga : PPh Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Menggunakan NPPN

 “Interest arising in a Contracting State and paid to a resident of the other Contracting State may be taxed in that other State.

Article 11 section (2):

 “However, such interest may also be taxed in the Contracting State in which it arises and according to the laws of that State, but if the recipient is the beneficial owner of the interest the tax so charged shall not exceed 10% of the gross amount of the interest.”

Baca Juga : PPh Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Menggunakan NPPN

Pasal 11 ayat (1):

“Bunga yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.”

Pasal 11 ayat (2) :

Baca Juga : PPh Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Menggunakan NPPN

“Namun demikian, bunga itu dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana bunga itu berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut akan tetapi apabila penerima bunga adalah pemberi pinjaman yang menikmati bunga itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10 persen dari jumlah kotor bunga.”

Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa Indonesia diberikan hak pemajakan namun secara terbatas yaitu tidak melebihi 10% dari jumlah bruto bunga. Secara umum, berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU PPh atas penghasilan bunga yang dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan. Namun karena pembayaran tersebut kepada ABC System Inc. yang merupakan penduduk Korea Selatan maka pajak yang dikenakan tidak lebih dari 10%.

Dalam contoh kasus ini PT XYZ akan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan bunga yang dibayarkan kepada ABC System Inc. dengan tarif sebesar 10% dan memberikan bukti potong. Selanjutnya PT XYZ berkewajiban menyetor ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya pada SPT Masa PPh Unifikasi paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Baca Juga : PPh Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Menggunakan NPPN

Dengan pelepasan hak pemajakan (relinguished taxing rights) suatu negara melepaskan hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber dari dari negara tersebut dan merelakan penghasilan tersebut dipajaki negara lainnya.

Frasa yang digunakan untuk pelepasan hak pemajakan  (relinguished taxing rights ) dalam P3B adalah “shall be taxable only”.

Baca Juga : Hal Baru Tentang Mekanisme Membuka Blokir Rekening Wajib Pajak

Contoh kasus:

Baca Juga : PPh Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Menggunakan NPPN

Shanghai Airlines Corp. adalah sebuah perusahaan penerbangan yang berkedudukan di Negara China mengoperasikan pesawat terbang dalam jalur lalu lintas internasional, yang melayani rute Shanghai -Jakarta dan Jakarta – Shanghai.

P3B Indonesia-China diatur bahwa:

Article 8 section (2)

Baca Juga : PPh Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Menggunakan NPPN

“ Profits from the operation of aircraft in international traffic shall be taxable only in the Contracting State of which the enterprise operating the aircraft is a resident. ”

Pasal 8 ayat (2)

“Laba dari pengoperasian pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional hanya akan dikenakan pajak di Negara Pihak pada Persetujuan di mana perusahaan yang mengoperasikan pesawat udara tersebut berkedudukan.”

Baca Juga : PPh Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Menggunakan NPPN

Berdasarkan ketentuan P3B maka untuk contoh kasus diatas Indonesia melepaskan hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber dari pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional. Penghasilan dari pengoperasian pesawat terbang rute Shanghai  – Jakarta maupun rute Jakarta – Shanghai akan dipajaki di China, sehingga Indonesia tidak boleh melakukan pemajakan.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646