Oleh: Andy Saliwu
REPUBLIKNEWS.CO.ID — Ada kecenderungan sikap sekolompok orang hampir seragam sebagai kesan negatif terhadap pejabat publik yang belakangan ini menyeruak. hal ini diawali oleh anggapan ambiguitas kebijakan yang dieksekusi oleh pemerintah daerah.
sebut saja Praktik serapan Sumber Daya Manusia yang di impor dari daerah induk untuk mengisi jabatan struktural dianggap merupakan sebuah kesadran palsu dalam mewujudkan kemandirian daerah, lalu tuntutan terhadap pimpinan daerah untuk tidak meninggalkan istana jabatan agar relasinya dengan masyarakat setempat berjalan harmonis, juga percepatan pembangunan di ibu kota kabupaten di perjelas dalam tempo singkat.
Baca Juga : 6 Infrastruktur Ketenagalistrikan di Sulawesi Siap Dukung Asta Cita Swasembada Energi
Maka suatu refleksi kritis ini direspond dan dinarasikan sebagai bahan yang memfasilitasi terbukanya perbincangan secara lebar dari semua kalangan.
Secara tiba-tiba, sejumlah Masyarakat dari kalangan aktivis semu berkeinginan kuat untuk berpartisipasi dalam proses penentuan kebijakan publik, padahal setelah daerah ini mekar dengan bangga mereka menyerahkan hampir secara total keadaan daerah, tanpa pengawasan keculi berteriak atas nama kepentingan kelompok atau individu.
Dari seting peristiwa diatas walhasil kekacauan memecah pada daerah yang harusnya sedang bergembira,
kecemburuan sosial menukik dalam realitas sosial,
premansime berbaju aktivis meraja lela, keserakahan berebut jabatan menjdi momok tanpa disertai rasa malu, lalu kemarin istana jabatan Bupati di obarak abrik dengan alasan kepedulian padahal perayaan HUT belum usai diparuh kalender.
Baca Juga : Rayakan HUT Ke-15 Tahun, Wisma Kalla Gelar Bakti Sosial Donor Darah
kalau kita coba jujur terhadap keadaan sikap politik, sebenarnya ini adalah retorika alibi tentang menuntut harapan balas budi perjuangan pilkada beberapa tahun silam yang berhujung dengan label jabatan rendah atau pengangguran.
Tentu ini akan berefek pada fakta kesejahteraan rakyat yang berkumandang sebagai cita-cita kemandirian daerah seolah cenderung tersisikan, ini terjadi karena ketiadaan niat baik, atau lemahnya nalar konsep framework ekonomi mandiri, juga lebih kepada kesaksian devisit moral intelektual komponen pejaban publiknya.
Apalagi hal ini makin terasa ketika menyaksikan geliat apatisme dari aktor legistlatif yang secara tupoksi sebenarnya memiliki peranan lebih fleksibel dalam peranan daerah, pernyataan ini di ulas secara gamblang dalam konsep toeritik trias politika milik Abraham.
Baca Juga : Lunar Fest by Kalla Toyota di TSM Makassar Hadirkan Line Up Terbaik Hingga Banjir Promo
jangankan bicara pengawasan daerah, berembuk untuk membuat regulasi saja mereka nyaris terpecah lantaran akut ego yang mereka miliki, anehnya aktor legistlatif ini sering kali melakukan studi banding kedaerah-daerah lain.
lalu perbandingan daerah untuk konsep duplikasi hanya menjadi lelucon belaka.
bermimpi untuk memaksakan nalar kota-kota besar seperti jakarta, Bali, Bandung dan Makassar kepada Buton tengah hanyalah ilusi, yang sejatinya mereka banyak mengantongi pundi-pundi nilai dari tiap perjalanan itu. Bukankan ini sama halnya dengan menguras Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang masih pincang. atau ekonimi politiknya masih sangat rapuh.
kendati demikian membangun khazanah Daerah Otonomi yang ideal memang memiliki postulat idealisme politik yang cenderung kokoh. karena fenomena kontras tentang sikap kemandirian dibumi berpenduduk 65 ribu ini makin melebar terasa. jikalau tidak maka konsekuensi logis yang harus kita hadapi adalah implementasi kebijakan yang signifikan tidak akan menjawab kebutuhan semua kalangan masyrakat.