Oleh: Falihin Barakati
REPUBLIKNEWS.CO.ID – Romli. Bukan nama seorang penjual bubur ayam keliling. Juga bukan nama seorang penjual somay. Apalagi nama seorang tokoh di PMII. Pokoknya bukan nama orang. Itu merupakan singkatan dari “Rombongan Liar”. Istilah yang dipakai untuk menyebut anggota atau kader yang hadir di kegiatan Kongres PMII yang bukan peserta penuh dan juga bukan peserta peninjau. Bukan hanya PMII yang menyebutnya dengan istilah Romli. Tapi juga organisasi lain menyebutnya juga demikian.
Sekalipun tidak memiliki hak suara maupun hak bicara di dalam sidang-sidang Kongres, kehadiran Romli dalam Kongres PMII memberikan warna tersendiri. Dan, itulah warna Kongres sebenarnya. Kalau tak ada Romli, bukan Kongres namanya. Hanya rapat-rapat pengurus saja. Hanya sidang-sidang biasa saja.
Baca Juga : Hingga Juni 2024, Transaksi Saham di Sulawesi Selatan Capai Rp9,36 Triliun
Romli bukan seperti Jelangkung, yang datang tak diundang, pulang tak diantar. Kedatangan Romli itu diundang, sekalipun tidak dengan surat undangan resmi. Hanya lewat instruksi. Bahkan mereka difasilitasi, dari pemberangkatan hingga kepulangan. Terkadang, ada juga yang patung-patungan untuk biaya pemberangkatan. Yang penting sampai dulu di tempat kegiatan Kongres. Soal makan, ngopi dan lain sebagainya mengalir di arena Kongres. Asal tahu saja, salah satu pengeluaran anggaran terbesar dari Kongres adalah membiayai konsumsi para Romli, termasuk kepulangan di daerah mereka setelah Kongres selesai.
Jalur kedatangan atau kepulangan Romli hanya dua pilihan. Jalur darat dengan bus atau jalur laut dengan Kapal Laut. Jangan harap lewat jalur udara, naik pesawat. Bukan hanya karena akan memakan anggaran yang sangat banyak, tetapi takutnya ada Romli yang tidak dapat kursi sehingga berdiri seperti naik bus. Atau takutnya nanti ada yang bergelantungan di pintu atau di sayap pesawat. Karena Romli hidupnya cenderung berkelompok, tidak mau terpisah dengan rombongannya. Kebersamaan, kekompokan dan senasib sepenanggunangan adalah beberapa diantara nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah para Romli.
Romli menjadi peramai Kongres. Kongres bisa meriah karena kehadiran mereka. Membuat lingkaran-lingkaran diskusi di luar arena Kongres. Terkadang hanya sekedar ngopi-ngopi sambil nyanyi-nyanyi dengan petikan gitar di sekitaran arena Kongres. Ngumpul dengan para Romli dengan daerah lain sambil sharing tentang perkembangan dan agenda-agenda organisasi di daerahnya masing-masing. Atau hanya sekedar ngerumpi. Sekitaran arena Kongres jadi hidup karena keberadaan Romli.
Baca Juga : IOH Group dan Accenture Siap Bangun Peradaban Ekonomi Digital Indonesia
Namun, kadang juga Romli bisa menjadi perusuh. Kalau ada ribut-ribut di Kongres, Romli biasanya paling semangat untuk ikut-ikutan. Apalagi jumlah mereka sangat banyak. Berbondong-bondong. Masalah kecil bisa saja jadi besar, kalau sudah Romli yang turun tangan dan kaki apalagi disertai turun peralatan lainnya seperti batu, balok dan sejenisnya. Makanya, Romli biasanya dijadikan adu kuat di Kongres. Siapa atau daerah mana paling banyak bawa pasukan, maka itu berpotensi bisa menguasai arena Kongres.
Jadi, Romli jangan dikira sebagai anak bawang. Peserta Kongres yang hanya ikut-ikutan saja. Atau, ada dan tidak ada mereka, tidak mempengaruhi Kongres. Itu salah besar. Romli dan Kongres PMII itu adalah satu kesatuan. Tidak bisa terpisah. Keberadaan mereka memberi potret Kongres benar-benar kegiatan nasional milik semua anggota dan kader se-Indonesia. Mereka yang memberi warna, mereka yang penuh cerita. Makanya, sekalipun Kongres PMII ke-20 saat ini dilakukan secara hybrid atau virtual, Romli tetap diberikan ruang untuk hadir. Tetapi, harus tetap patuhi Protokol Kesehatan.
Selama ber-PMII. saya juga pernah jadi Romli. Waktu itu Kongres PMII ke-18 di Jambi tahun 2014. Saya masih di Komisariat. Lalu, Kongres PMII ke-19 di Palu tahun 2017 saya juga masih tetap sebagai Romli. Saat itu saya sudah di Koorcab. Saat ini di Kongres PMII ke-20 di enam zona, dan saya di Zona 6 Kota Kendari, sebenarnya saya juga masih tetap Romli, sekalipun sudah di PB. Karena tak memiliki hak suara, juga bukan panitia yang pengorbananya luar biasa menyukseskan acara. Nasib saya memang sudah digariskan selalu jadi Romli. Saya yakin, banyak kader juga yang senasib dengan saya. Selalu jadi Romli.
Baca Juga : Pemkab Gowa Gandeng BPS Fokuskan Perbaikan Data Statistik
Tapi, jangan berkecil hati. Sejatinya dengan menjadi Romli para anggota dan kader bisa bergerak bebas di momentum Kongres. Tidak seperti para pemilik hak suara yang terkadang diintervensi senior kiri-kanan, bahkan terkadang ada yang harus dikarantina tak bisa banyak kemana-mana sebelum pemilihan ketua umum selesai. Jadinya tidak bebas merdeka. Jadi, kalau mau cari Putera Bangsa Bebas Merdeka seperti dalam lirik lagu Mars PMII, itu ada di Romli.
Salam pergerakan buat para Romli. (*)