REPUBLIKNEWS.CO.ID, BANJARMASIN — Bocah cilik berusia 11 tahun, Muhammad Hadziq Averroes memegang buku novel perdananya itu berjudul Play Armada. Buku setelah 96 halaman itu menceritakan seputar peperangan antar kelompok yang bergenre fantasi tersebut, dan memiliki nuansa islami.
“Terinspirasi dari dongeng yang sering dibacakan ayah sejak kecil. Tokoh-tokoh islam dalam sejarahnya, namun dibikin versi sendiri,” ucap Muhammad Hadziq kepada republiknews.co.id, Kamis (04/08/2022).
Dalam latar belakang kisah novelnya, siswa SDN Inti Kebun Bunga 5 itu menceritakan bahwa tokoh utama ada dua yakni Zeus dan Ridwan, yang berlatarkan perang di masa depan. Kemudian, kata dia, alur dari fantasinya di masa depan itu menjadi luluh lantak seketika hancur.
Baca Juga : Peringati HUT ke-18, Komisi Yudisial Wilayah Kalsel Hadirkan 4 Tokoh
“Ada perkumpulan-perkumpulan dari kelompok perang itu. Ada yang baik dan jahatnya, sementara makna Play Armada itu adalah aliansinya,” kata Hadziq.
Singkat kisahnya, kata Hadziq, bergabung mengumpulkan kekuatan dalam keadaan medan perang tersebut. Layaknya mencari kejayaan, kata dia, para kelompok perang itu menguasai wilayah-wilayah.
Secara sinopsis, Buku Play armada mengisahkan tentang pertempuran pada masa depan di tahun 2126 yang menghancurkan Negara. Hingga pemimpin Play armada yang bernama Geiz bertemu dengan Ridwan yang mengawali cerita itu, mereka membangun kekuatan untuk mengalahkan pasukan-pasukan jahat lainnya yang juga tersebar. Pertempuran demi pertempuran terus bergilir, kekuatan pasukan itu terus bertambah. Semua cabang bentuk pasukan pun mereka gapai, infanteri, kaveleri, dan antileri terus mengalahkan pasukan yang memiliki niat untuk menguasai dunia.
Baca Juga : PDIP Kalsel Gelar Upacara, Berry Nahdian Beri Pesan Ini di Hari Lahir Pancasila
Ke depannya, Hadziq tertarik bergabung dengan komunitas penulis di Kalimantan Selatan dan mempelajari lebih jauh lagi, ihwal dunia kesusasteraan.
Lewat Buku, Kisah Kecil Hadziq Didongengkan
Masih sangat belia, Hadziq kerap didongengkan oleh kedua orangtuanya saat masih kecil. Hingga usia belasan tahun, anak pertama dari pasangan Muhammad Adi Riswan Al Mubarak (Adi Ram) dan Nahdhah itu mulai menjajaki dunia kepenulisan. Pada usia sembilan tahun, Hadziq telah merintis tulisan novelnya, hingga pada usia sekarang (11 tahun) baru saja dapat menerbitkan novel perang tersebut.
“Hadziq ini sejak kecil menjelang tidur, sering dibacakan buku cerita. Buku-buku tipislah,” ungkap Adi Ram.
Baca Juga : Siti Setiyani, Cerita Seorang Kader TBC Komunitas
Memang sebelumnya, Adi Ram menceritakan sejak kecil di rumahnya telah dibiasakan jauh dari teknologi. Layaknya televisi, kata dia, jarang sekali membuka bahkan mendekatkan dengan gawai. “Dia main game juga, tapi kita batasi cuma sesekali saja. Tidak sampai candu,” ujarnya.
Kendatipun, kata Adi Ram, cuma buku-buku itu saja yang kerap dibacakan menjelang malam. Ternyata, kata dia, sosok anaknya itu tertarik bahkan hafal dengan isi ceritanya. “Umur 6 tahun, sudah mulai bisa membaca. Kemudian, kita belikan buku-buku,” ujarnya.
Dalam buku yang didongengkan, Adi Ram membacakan buku-buku sejarah islam seperti Khalid bin Walid, Muhammad Al Fatih, Barbarosa, Sholahuddin Al-Ayyubi, Jenissaris dan Sayf Muhammad Isa. Selain itu, buku komik seperti Detektif Conan, Aoyama Gosho dan lainnya, turut mengisi imajinasi Hadziq sehari-hari.
Baca Juga : Porseni NU 2023, Kontingen Kalsel Masuk Peringkat 13 Besar
“Hadziq itu setelah membaca buku tersebut. Pasti, dia menceritakan ulang ke kami. Dari awal sampai akhir, kisah-kisah itu diceritakannya secara detail,” kata anggota Baznas Kalsel itu.
Bahkan, kata Adi Ram, biasanya Hadziq saat ingin menceritakan buku-buku yang telah dibacanya itu, maka harus mendengarkan seksama hingga tuntas. Sebab, menurutnya Hadziq menahan orangtua dan adiknya sendiri untuk menanggapi, sebelum cerita itu selesai disampaikannya.
“Lalu menyampaikan ke ibunya, gimana Hadziq ini. Apa yang dibaca dan diceritakannya itu, dia tuliskan,” kisah Adi Ram.
Baca Juga : Porseni NU 2023, Kontingen Kalsel Masuk Peringkat 13 Besar
Alternatif lain jika tak dituliskan, Adi Ram mengusulkan cerita yang disampaikan Hadziq untuk direkam saja. Namun, kata dia, ternyata Hadziq tidak tertarik, dan malah mengambil jalan ke dunia kepenulisan.
Di rumah, Adi Ram mengajarkan Hadziq mempelajari dunia teknologi. Perlahan, anaknya itu mampu mengetik secara lancar.
“Satu halaman itu dengan cepat, dia kerjakan. Waktu itu, Hadziq melaporkan bahwa dirinya hendak garap novel. Yaudah, kita dukung,” ucapnya.
Baca Juga : Porseni NU 2023, Kontingen Kalsel Masuk Peringkat 13 Besar
Kemudian, Adi Ram menunggu bersama ibunya Hadziq. Menanti garapan novel yang ditulis oleh anak pertamanya itu. Kepada Hadziq, dia menjelaskan bahwa jika tulisannya sudah terkumpul banyak, maka orangtuanya siap menerbitkan buku novel tersebut.
Adi Ram mengatakan sebanyak 60 eksemplar yang dicetak oleh Hadziq dan telah laku semua, terjual habis oleh keluarga dan kerabatnya sendiri. Kemungkinan, kata dia, kalo banyak permintaan buku novelnya maka akan dicetak ulang.
“Dengan menerbitkan buku novelnya Hadziq, paling tidak itu adalah upaya mengapresiasi dan menghargai imajinasinya,” tandasnya.