0%
logo header
Senin, 06 Mei 2024 18:07

Catatan Mudik 2024: (10-Habis).“Banjir” di KM Tilongkabila

M. Imran Syam
Editor : M. Imran Syam
Catatan Mudik 2024: (10-Habis).“Banjir” di KM Tilongkabila

REPUBLIKNEWS.CO.ID, BIMA — Sesuai jadwal di tiket, KM Tilongkabila merenggang dari Pelabuhan Bima pukul 20.00 tanggal 20 April 2024. Kapal buatan Jerman yang sebelumnya dari pelabuhan terakhir, Pelabuhan Makassar, berlayar langsung ke Pelabuhan Bima dengan membawa penumpang jurusan Labuan Bajo yang akan diturunkan saat perjalanan balik ke Makassar. Pelayaran dari Makassar ke Bima ditempuh 18 jam, sama lama tempuh jika kapal berlayar ke Labuan Bajo.

Pelayaran kali ini berjalan dalam kondisi laut yang cukup tenang, terutama dari Bima ke Labuan Bajo. Hanya saja, pada celah laut di antara Gunung & Pulau Sangiang dengan daratan Pulau Sumbawa bagian timur ada arus yang sedikit keras. Selat Gilibanta, yang berada di ekor utara Selat Sape merupakan pertemuan arus dari selatan Samudera Indonesia bertabrakan dengan arus lemah dari Laut Flores di utara. Kebetulan pertemuan kedua arus ini merupakan jalur trayek KM Tilongkabila dan kapal-kapal lainnya. Meskipun memperpendek jalur pelayaran,  tetapi kapal akan sedikit goyang karena melabrak pertemuan arus. Penumpang akan merasakan perubahan irama pelayaran kapal. Bagi mereka yang tidak terbiasa berlayar, akan mabuk.  Sama ketika pada tanggal 6 April 2024 ketika dalam pelayaran dari Pelabuhan Bima ke Labuan Bajo, arus dan gelombang sedikit berubah dari biasanya di Laut Flores yang tenang. Apalagi saya sekeluarga memperoleh tempat di dek 2 paling bawah dan ujung, di bagian haluan kapal. Saat kapal menabrak ombak, sangat terasa. Istri saya yang sedang puasa, hanya mencicipi buah langsat yang dibawa karena mabuk. Dia juga hanya terus ‘menempel’ di tempat tidur selama pelayaran. Padahal, sudah sering berlayar dengan kapal Pelni. Ya, yang berbeda, situasi cuaca pada saat pelayaran.

Pada tahun 1987, saat saya mengunjungi Pulau Komodo dengan menumpang KMP Komodo, kapal feri ini harus menyusuri pulau-pulau sekitarnya karena pantulan pertemuan arus ini juga berimbas ke timur. Ketika dalam perjalanan pulang dari P.Komodo ke Pelabuhan Sape (di ujung timur Pulau Sumbawa/Kabupaten Bima), ternyata pertemuan arus ini juga menyisir di antara pulau-pulau kecil yang dilintasi KMP Komodo. Ini untuk pertama kalinya, saya merasakan sebuah kapal dibanting kiri kanan oleh gelombang. Saya dapat menyaksikan kendaraan-kendaraan truk muatan kapal yang oleng oleh gelombang. Untung truk-truk itu sudah diikat dengan bagian kapal sehingga tidak saling bergesekan satu sama lain.

Baca Juga : Obituari Hasyim Ado: Pernah Dibantingi Pistol

Perjalanan dari Pelabuhan Bima ke Labuan Bajo  menghabiskan waktu 7 jam. Kami selalu menyinggahi Labuan Bajo pada malam hari, sehingga dapat menyaksikan indahnya permainan lampu berwarna di pelabuhan kota yang terus berkembang pesat karena pariwisatanya yang maju ini. Berbeda dengan Pelabuhan Makassar yang hanya memiliki tulisan Pelabuhan Makassar dengan lampu putih, Labuan Bajo menawarkan tulisan “Marina Labuhan Bajo” dalam warna biru dan dengan huruf M putih dari kata Marina.

Pukul 03.00 dinihari KM Tilongkabila sandar di Labuan Bajo dan menurunkan penumpang yang diangkutnya dari Makassar yang terpaksa jalan-jalan dulu ke Bima. Kapal juga menaikkan penumpang tujuan Makassar dan daerah lainnya. Dalam setiap pelayaran KM Tilongkabila, penumpang asal Bima dan Labuan Bajo tidak pernah sepi. Selalu saja padat. Makanya, tidak heran lama singgah KM Tilongkabila bertambah menjadi 2 sampai 2,5 jam. Dulu, hanya satu jam saja. Setelah itu dia melanjutkan pelayaran ke Bima atau ke Makassar.

Pada tanggal 21 April pagi, empat jam setelah meninggalkan Labuan Bajo, hujan deras mengiringi pelayaran KM Tilongkabila memotong Laut Flores hingga sore hari. Saat menuju musala KM Tilongkabila di dek 5 untuk menunaikan salat zuhur, hujan lebat membuat dek 5 dan 6 “dilanda banjir”. Air yang jatuh di pelataran bagian samping kiri kapal di bawah sekoci menggenang karena ternyata tidak ada kanal pembuangan di sisi kapal. Air tergenang tersebut merembes  ke sisi kapal yang biasa dipakai sebagai tempat tidur dan berbaring bagi penumpang “non seat” (tidak dapat tempat tidur). Akibatnya, sejumlah penumpang di lambung kiri kapal  harus bergeser ke buritan kapal atau bagian yang lebih terlindung dari curah hujan dan genangan air, yakni ke sebelah kanan (barat).

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (5-Habis)Wawancara Sambil Bermain Golf dengan Wapres

Penumpang KM Tilongkabila ini merupakan pelayaran kedua kapal PT Pelni yang mengangkut  arus balik pemudik dari Bima. Ya, termasuk saya sekeluarga yang mudik setelah berada selama 14 hari di kampung halaman. Ini termasuk mudik terlama yang saya sekeluarga jalani sepanjang sejarah mudik karena adanya beberapa agenda hajatan keluarga dan disesuaikan dengan jadwal perjalanan.

KM Tilongkabila merapat di Pelabuhan Makassar tepat pukul 00.15, Sesuai jadwal sebenarnya pukul 00.01 Wita. Keterlambatan 14 menit ini ternyata KM Tilongkabila memberi kesempatan kepada KM Binaiya yang siap meninggalkan Pelabuhan Makassar menuju pelabuhan tujuan berikutnya, Batulicin. Saya tiba kembali di rumah pukul 02.00 dinihari, 21 April 2024, setelah meninggalkan rumah tepat 15 hari. Lumayan lama, tetapi sangat berkesan. (*)

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646