REPUBLIKNEWS.CO.ID, JAKARTA — Aksi! for gender, social and ecological justice menilai, program hilirisasi nikel yang digagas kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo mengancam lingkungan, perempuan dan kelompok masyarakat rentan lainnya.
Salah satunya hilirisasi nikel untuk kebutuhan kendaraan listrik yang saat ini tengah didorong sebagau solusi dalam penaganan krisis iklim. Tetapi nyatanya, di Indonesia memperlihatkan bahwa aktivitas pertambangan khususnya nikel, sangat berkontribusi pada kerusakan lingkungan hidup dan pemiskinan perempuan, keluarga, dan komunitasnya. Mereka menghadapi pencemaran limbah dari aktivitas pertambangan, deforestasi yang semakin luas, pencemaran udara, sedimentasi sisa galian tambang, penggusuran lahan produktif, dan krisis air bersih.
“Perempuan mengalami dampak terburuk dari situasi ini. Misalnya, mereka harus memastikan adanya air bersih untuk keluarga di saat terjadi krisis air, terutama untuk kesehatan anak balita dan kesehatan reproduksi mereka sendiri dengan berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air bersih,” kata Marhaini Nasution, mewakili Aksi! for gender, social and ecological justice, dalam keterangannya, Sabtu, (16/03/2024).
Baca Juga : Inovasi Sahabat Lapor Gowa Berhasil Tingkatkan Aduan Masyarakat
Di sisi lain, lahan produktif yang menjadi sumber pangan sendiri dan ekonomi keluarga hilang digantikan dengan pertambangan nikel. Belum lagi, penambangan nikel di beberapa wilayah memicu konflik, kekerasan dan kriminalisasi.
Nikel, merupakan salah satu bahan baku untuk produksi baterai kendaraan listrik selain litium dan kobalt. Makin meluasnya penggunaan kendaraan listrik yang dianggap sebagai salah satu alternatif menggantikan bahan bakar fosil untuk kendaraan, sehingga akan menurunkan emisi gas rumah kaca, memicu semakin tinggi permintaan akan nikel tentunya.
Saat ini, Indonesia ada di papan atas sebagai produsen nikel dunia yang menjadi bahan baku utama baterai listrik. Sementara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memproyeksikan kebutuhan nikel untuk memenuhi kebutuhan produksi baterai kendaraan listrik mencapai 59.506 ton pada 2035 mendatang, dan diprediksi akan meningkat dua kali lipat pada 2045.
Baca Juga : Satgas PASTI, Upaya Kolaborasi OJK Perkuat Pelindungan Konsumen
Kebutuhan baterai untuk kendaraan listrik ini akan memicu semakin masifnya aktivitas pertambangan yang ekstraktif dan eksploitatif. Prabowo-Gibran yang saat ini unggul menurut perhitungan real count KPU sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 2024-2029, berkomitmen melanjutkan program hilirisasi Joko Widodo tersebut seperti yang mereka sampaikan dalam kampanye maupun saat debat publik.
Website Prabowo-Gibran juga menyebutkan hilirisasi dan industrialisasi dicanangkan untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri, dengan hilirisasi nikel sebagai salah satu program unggulan. Menurutnya, pertambangan nikel dapat menjadi salah satu solusi masalah ekonomi Indonesia, dan hilirisasi nikel merupakan salah satu lokomotif pendorong cita-cita Indonesia Emas 2045.
Disisi lain, produksi nikel padat energi dan dengan proses peleburan tenaga batubara yang menghasilkan emisi karbon tinggi. Meski ada yang menyebutkan bahwa baterai listrik dapat didaur ulang, namun proses daur-ulang membutuhkan biaya dan energi yang tinggi, sementara itu dampak jangka panjang dari daur-ulang limbah baterai listrik belum diketahui.
Baca Juga : OJK Sulselbar Perkenalkan Lebih Dekat Layanan Pengaduan 157 ke Jurnalis
“Seharusnya, makin meningkatnya program kendaraan listrik sudah memiliki mekanisme penanganan limbah sehingga bisa mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan,” tegas Marhanini.
Selain itu, Dana Iklim Hijau/Green Climate Fund (GCF) yang menyetujui proposal proyek Asian Development Bank (ADB) pada awal Maret 2024, untuk program kendaraan listrik, terutama bis listrik di tujuh negara termasuk Indonesia, merupakan tindakan ceroboh dengan mengabaikan persoalan hilirisasi nikel sampai pada penanganan limbah baterai listrik.
Proyek ini akan meningkatkan permintaan lithium, kobalt dan nikel yang akan berimplikasi pada masifnya aktivitas pertambangan di Indonesia. Kepentingan bisnis bis listrik dan baterai listrik memang lebih diutamakan di sini, walaupun organisasi masyarakat sipil internasional dan Indonesia, termasuk Aksi!, sudah memperingatkan GCF mengenai hal tersebut.
Baca Juga : Dana Masyarakat Sulsel di Perbankan Tumbuh Tinggi, Tembus Rp135,78 Triliun
“Sungguh keliru anggapan bahwa transisi energi bersih dengan menciptakan kendaraan listrik adalah sebuah solusi untuk mengatasi perubahan iklim,” katanya.
Pasalnya, menurutnya, produksi nikel bersifat padat energi dan berasal dari smelter berbahan bakar batu bara, justru menghasilkan jejak karbon yang tinggi. Meningkatnya produksi baterai listrik bersumber pada penambangan nikel, lithium dan kobalt untuk kebutuhan kendaraan listrik akan menambah deretan pelanggaran HAM dan hak asasi perempuan, serta akan meningkatkan kemiskinan, khususnya perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Program kendaraan listrik dengan sumber energi yang tetap bertumpu pada pembangkit tenaga berbasis bahan bakar fosil seperti baterai listrik, belum memiliki mekanisme penanganan limbah, dan bersumber pada hilirisasi mineral yang menghancurkan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan masyarakat, bukanlah sebuah solusi perubahan iklim, tetapi menambah persoalan krisis iklim.
Baca Juga : Dana Masyarakat Sulsel di Perbankan Tumbuh Tinggi, Tembus Rp135,78 Triliun
“Ini adalah solusi palsu yang justru akan melahirkan persoalan baru bagi masyarakat, berkontribusi pada penghancuran lingkungan dan kemiskinan perempuan,” katanya.