0%
logo header
Rabu, 30 Agustus 2023 04:54

Islam Tak Pertentangkan Agama dan Budaya

Mulyadi Ma'ruf
Editor : Mulyadi Ma'ruf
Seminar Kerjasama antara FIB Unhas dengan Lakpesdam PWNU Sulsel, Selasa (29/08/2023). (Istimewa)
Seminar Kerjasama antara FIB Unhas dengan Lakpesdam PWNU Sulsel, Selasa (29/08/2023). (Istimewa)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Satu seminar menarik hasil kerjasama antara Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas dengan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Sulawesi Selatan berlangsung di Aula Prof. Mattulada FIB Unhas Kampus Tamalanrea, Selasa (29/8/2023).

Mengusung tema “Rethinking Relasi Budaya dan Agama” seminar ini menampilkan pembicara Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag. (Pimpinan Wilayah Muhammadiah Sulsel), Prof. Dr. AB Takko, M.Hum (Guru Besar FIB Unhas),  Prof. Dr. K.H. Muammar Bakry, Lc. M.Ag. (Sekretaris MUI Sulsel dan Rektor Universitas Islam Makassar), dan Dr. Zul Ashari Mustafa, M.Ag. (Lakpesdam PWNU Sulsel), dipandu oleh M.Fadlan Nasurung (Lakpesdam PWNU Sulsel).

M.Fadlan Nasurung yang  yang mengantar seminar ini setelah sambutan Ketua Lakpesdam Dr.Syahrullah mengatakan, seminar ini penting untuk meluruskan pemahaman kita terhadap hubungan antara agama dengan budaya sebagaimana yang sering muncul di media. Dengan adanya seminar ini diharapkan dapat menjelaskan hal-hal terbatas di media itu. Sebab yang banyak terjadi di media itu adalah ujaran kebencian, yang seharusnya dianggap sebagai suatu hal yang biasa dalam iklim kebebasan, tetapi terkadang direspon secara segmental.

Baca Juga : Sastra Indonesia FIB Unhas Raih Akreditasi Unggul

“Itulah yang kemudian dilawan oleh Nabi Muhammad saw, misalnya terhadap kecenderungan dehumanisasi yang dilakukan oleh Firaun,” ujar Ketua Lakpesdam PWNU Sulsel Dr. Syahrullah pada seminar yang dibuka Dekan FIB Unhas diwakili Wakil Dekan I Dr.H.Mardi M.Amin, M.Hum dan diikuti sejumlah peserta tersebut.

Sementara Mardi Amin mengatakan, Muhammadiah dalam praktiknya mengajak berdamai dalam hal budaya. Dia melihat ada dua makna yang mestinya harus diseleraskan, yakni ‘natural’ (Allah) dan ‘cultura’ (budaya, manusia). Manusia melahirkan pikiran yang merupakan produk budaya dan ini seharusnya sudah selesai.

“Agama dan budaya harus sinkron, sejalan, dan damai,”ujar Mardi Amin.

Baca Juga : Andi Elsa Fadhilah Sakti, Doktor Termuda Lulusan Unhas

Prof.Dr.KH Muammar Bakry, Lc., M.Ag. mengatakan,  Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel sudah mengharamkan pelaksanaan ‘maccera tasik” yang dilaksanakan di beberapa daerah di Sulsel. Pada prinsipnya, antara ‘natural’ dan ‘cultura’ ini menyatu dalam konsep seperti yang disebutkan dalam Alquran, bahwa manusia itu  hadir bukan dalam ruang yang kosong. Manusia memiliki fitrah dan kekuatan, yakni manusia itu ada bangsanya. Manusia itu lahir dengan berbangsa-bangsa. Kalau ada yang menafikan kelahirannya sebagai bangsa berarti menyalahi fitrahnya sebagai manusia.

Selain itu, ada yang sifat adat dan budaya. Kalau ada manusia yang tidak senang dengan budayanya, dengan adatnya, maka dia menyalahi kodratinya sebagai manusia. Fitrahnya sebagai manusia. Itulah sebabnya, dalam konsepsi Islam dikenal dengan adat dan “aur” untuk memastikan bagwa kita ini harus merawat adat dan “aur”. Di dalam Islam, adat itu menempati posisi yang luar biasa. Maka ada idiom yang mengatakan bahwa sumber hukum itu adalah adat. Oleh sebab itu ada namanya hukum adat.

“Jadi kalau ada orang yang benci adat istiadatnya bahaya itu. Dia harus dicarikan ‘kampung’ (tempat tinggal) yang lain. Kalau ada orang yang tidak senang dengan adat istiadat kampungnya, itu akan tidak normal hidupnya,” sebut Prof. Muammad Bakry.

Baca Juga : LPPM Unhas Gelar Pengabdian di Majelis Taklim Gowa

Namun yang lebih luas lagi, kata Muammad Bakry, namanya “aur”. Adat itu bisa personal, bisa komunal. Kebiasaan-kebiasaan kita secara pribadi, individual, yakni kebiasaan yang dilakukan oleh orang per orang. Tetapi, ada adat yang sifatnya komunal. Semua “aur” adalah adat, tetapi tidak semua adat adalah “aur”.

Menurut Muammar Bakry, Islam tidak mempertentangkan antara budaya dan agama. Keduanya disatukan dalam satu konsep, adat dan “aur”. “Aur” itu ada kaitannya dengan “makruf”, yang di dalam bahasa Bugis dikenal dengan “makrufe”. ”Aur” itu berasal dari makna kata “diketahui” yang kemudian merujuk kepada istilah “makruf”. Kebaikan-kebaikan itu didasari pada adat istiadat yang berkembang. Di dalam Alquran memerintahkan itu. Selain ada kebaikan yang bersifat universal, ada juga kebaikan yang sifatnya lokalistik, makanya ada yang disebut “local wisdom” (kearifan lokal) yang identik dengan “aur”, kalau bahasa Quran-nya “makruf”.

“Kebaikan-kebaikan yang ‘local wisdom’ itu diakomodasi di dalam Islam. Dan karena ini sifatnya  lokalistik, boleh jadi sesuatu yang baik di Indonesia, di Makassar ini, belum tentu baik di Arab. Sebaliknya juga demikian. Sesuatu yang baik di Arab belum tentu baik di Sidenreng Rappang,”. ujar Rektor Universitas Islam Makassar (UIM) tersebut.

Baca Juga : Kemajuan FIB, Juga Kemajuan Unhas

Muammar Bakry memberikan contoh, “tabe-tabe” (permisi), itu tidak ada dalam Quran dan hadis. Tidak ada di dalamnya yang menyebutkan “tabe-tabe”. Kalau “tabe-tabe” ini sesuatu yang tidak diajarkan Nabi, orang yang ekstrem memahami kebaikan-kebaikan itu dianggap lebih cenderung disebut bid’ah. Itu disebutkan ekstrem memahami agama. Tidak memahami konsep :aur”. Ternyata dalam konsep “tabe-tabe” itu adalah membangun karakter akhlak anak yang baik, berakhlak adalah yang hormat kepada senior dan orang tuanya.

“Kalau kita orang Bugis bilang “tabe-tabe” dan seterusnya, tidak ada hadisnya secara tekstual, tetapi secara substansial itulah namanya “aur”. Mana ada “tabe-tabe” di Mekkah, orang malah injak kepala kita, tidak ada urusan. Tetapi kalau kita di sini (Makassar),dianggap kurang ajar. Tetapi sebaliknya,  mungkin ada budaya-budaya Arab yang baik menurut mereka, tetapi menurut kita itu tidak baik atau tidak dianggap sebagai kebaikan,” beber Muammar Bakry.

Dia kemudian memberikan contoh, orang Arab itu kalau dipegang wajah (janggut)-nya, bagaimana pun marahnya, pasti gembira. Kalau penjual, jika mau murah, pegang saja jenggotnya orang Arab, pasti diberikan harga murah. Apalagi yang pegang itu perempuan. Bahkan bisa gratis. Mengapa, karena itu simbol kemuliaan. Ketika simbol kemuliaan itu dipegang, disentuh dan diraba, itu merupakan penghormatan bagi orang Arab. Tetapi kalau di Bugis, jika dipegang jenggotnya bisa jadi lain.

Baca Juga : Kemajuan FIB, Juga Kemajuan Unhas

“Tetapi urusan janggut ini punya tiga kriteria. Janggut ideologis, biologis, dan asesoris. Tetapi yang banyak itu dua, biologis dan asesoris, tidak ada ideologisnya. Itu adalah kemuliaannya dan kemuliaan itu jika disentuh, maka akan mengangkat harkat hidupnya. Tetapi bagi orang Bugis dan Makassar, jangan coba-coba. Pasti ditampar. Inilah namanya ‘local wisdom’. Budaya yang berbeda-beda.
Konsep Islam tadi, ketika “makruf” itu “aur”, budaya yang hidup di tengah masyarakat sepanjang itu kebaikan, selama itu tidak bertentangan dengan syariah, itu diakomodasi,” sebut Sekretaris MUI Sulsel tersebut.

Guru Besar Hukum Islam ini mengatakan, ulama-ulama kita dulu, yaitu beberapa orang Datok (Ri Bandang, Ri Tiro, Patimang) yang mengajarkan Islam itu, bukan hanya orangnya diislamkan, melainkan diislamkan budayanya. Jadi, mengislamkan budaya dan membudayakan Islam. Itulah yang dilakukan oleh para ulama di Nusantara ini. Coba, mereka yang memasukkan Islam di Moro Filipina, berbeda dengan Islam yang di Indonesia. Tetapi Alhamdulillah, para ulama yang memasukkan Islam di Nusantara ini, budayanya juga diislamkan.

“Kalau ada yang bertentangan dengan akidah, harus jelas aturannya. Apapun yang dilakukan di bumi ini boleh, selama tidak ada dalil yang melarangnya Kalau sifatnya muamalah, sifatnya budaya, silakan selama tidak ada yang melarang,”  Muammar Bakry.

Baca Juga : Kemajuan FIB, Juga Kemajuan Unhas

Budaya musik misalnya, sepanjang itu tidak melanggar syariah bisa diakomodasi. Tidak apa-apa.

“Berbeda jika itu ‘candoleng-doleng. Kalau itu yang menjadi budaya, jelas bertentangan dengan kebaikan yang dapat diakomodasi di dalam Islam’, kunci Muammar Bakry menambahkan bahwa “maccera tasik” yang dilaksanakan di Sulsel sesuai Keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) hukumnya haram.

Prof. Dr. Arifuddin Ahmad mengatakan, Muhammadiah saat ini melaksanakan dakwah kultural dalam melihat tradisi ritual masyarakat karena suara rakyat itu suara Tuhan, jika rakyatnya bertuhan. Islam dan agama apa pun merupakan  energi yang dahsyat, sehingga harus selalu fungsional. Energi Islam harus lebih dahsyat dari budaya.

Baca Juga : Kemajuan FIB, Juga Kemajuan Unhas

Muhammadiah memiliki risalah Islam berkemajuan, bukan sesuatu yang baru, tetapi dibarukan. Risalah ini ada karena Muhammadiah meyakini bahwa Islam sebagai agama merupakan sumber energi yang sangat dahsyat. Karena dia menjadi sumber energi yang dahsyat, maka energi ini harus selalu fungsional.

Bagaimana memfungsikan agama ini secara maksimal, dalam konteks Islam seluruh aspek ini harus ada energi. Islam datang bukan tanpa budaya, tetapi kehadiran Islam bukan membiarkan berhala-berhala yang ada. Energi Islam ini harus lebih dahsyat daripada perubahan-perubahan budaya yang ada.

“Kalau dulu berhala bisa terbatas pada Lata dan Uza, maka hari ini bisa saja partai menjadi ‘berhala’ juga. Kalau tidak lewat  partai, orang tidak ada yang jadi (anggota DPR misalnya). Ini bisa menjadi berhala baru,” ujar Arifuddin Ahmad.

Baca Juga : Kemajuan FIB, Juga Kemajuan Unhas

Muhammadiah membuat risalah Islam berkemajuan karena melihat Islam ini memiliki energi kuat tetapi kemudian ada banyak hal yang dianggap sesuatu yang seharusnya dikembangkan, tetapi justru dianggap sesuatu yang tidak boleh berubah. Ini kemudian Muhammadiah menganggap sesuatu yang harus diberi penjelasan karena apa yang terjadi bukan sesuatu yang secara tiba-tiba,”

“Agama itu penuh dengan simbol. Misalnya, ibadah tawaf, sai, melempar, dan sebagainya. Di sini harus  ada pencerahan pada umat yang tidak sekadar melihat teks secara tekstual,  tetapi harus dilihat secara substantif,” sebut Prof.Arifuddin Ahmad.

Prof. Dr. AB Takko, M.Hum yang tampil sebagai pembicara ketiga mengatakan, antropologi budaya itu melihat manusia sejak dia lahir, mulai tidur hingga bangun lagi. Apa yang dilakukan hingga membuat dia nyaman. Kebudayaan berkaitan dengan sistem simbol dan tanda yang diciptakan masyarakat untuk menciptakan keharmonisan hidupnya.

Baca Juga : Kemajuan FIB, Juga Kemajuan Unhas

“Yang bisa mengubahnya adalah pemilik kebudayaan itu sendiri. Prinsipnya bisa berbeda karena interpretasi, meskipun perbedaan itu sendiri mengandung multikebenaran,” ujar AB Takko, kemudian menambahkan, agama bermakna ‘tidak kacau’ sebagaimana kebudayaan juga menawarkan tidak kacau.

Dr. Zul Anshori Mustafa, M.Ag yang juga pernah meneliti mengenai upacara “maccera tasik”  mengemukakan,  agak sulit jika kita menganggap budaya itu bertentangan karena itu berkaitan dengan asal usul kita tumbuh. Alur ritual berdekatan dengan konteks tempat pelaku.

“Maccera tasik” sudah mengalami perubahan, telah mengalami modifikasi dari apa yang dilakukan masyarakat sebelumnya,. Misalnya diubah dengan menggunakan nama-nama nabi dan para sahabat,” ujar Zul Anshori Mustafa.

Baca Juga : Kemajuan FIB, Juga Kemajuan Unhas

Menurut Zul Anshori Mustafa, ritual adat yang bertentangan dengan syariah itu sudah mulai dimodifikasi. Kebudayaan memang tidak ada yang ditinggalkan, tetapi sudah mengalami perubahan. Yang menjadi problem, kata Zul Anshori Mustafa, jika pelaksanaan acara :maccera tasik” ini dilaksanakan bukan di air.

“Mengapa tidak dilaksanakan saja di masjid? Ya, karena di masjid tidak ada ikan,”Zul Anshori Mustafa menjawab sendiri mengunci penyajian materi dan seminar pun ditutup dengan komentar penutup Ketua Lakpersdam PWNU Sulsel Dr. Syafrullah dan dilanjutkan dengan penyerahan cenderamata kepada para pemateri dan pihak terkait dalam seminar setengah hari tersebut. (*)

Penulis : M. Dahlan Abubakar
Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646