Oleh : Andi Saliwu
REPUBLIKNEWS.CO.ID — Sebentar lagi kita akan beramai-beramai memperingati hari kemerdekaan Indonesia, tentu perayaan itu sebagai simbol kebahagiaan kita dalam menyambut usia bangsa yang tengah memasuki 73 tahun.
Ragam reaksi akan terbuncah dalam perayaannya, entah itu berlandas pada semangat nasionalis atau semangat yang lain, jelasnya kita akan beramai-ramai mengeksperesikan kebahagiaan dalam waktu ini.
Baca Juga : 251 Mahasiswa Unsa Makassar Wisuda, Didorong Bersaing di Era Digital
Namun mari kita beranjak dari perihal refleksi dalam menyonsong Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) yang ke-73 ini. Diera soekarno orang-orang akan berbondong-bondong datang kelapangan Ikada atau memenuhi alun-alun untuk medengar pidato Bung karno yang berapi-api, pekikkan pidatonya akan menggetarkan Jiwa rakyat agar meneruskan ritme perjuagan indonesia merdeka yang belum usai.
Sehingga semangat perjuangan pada masa itu terus berkecamuk dalam nadi masyarakat. Pidato Proklamotor itu mengerucut membakar jiwa rakyat atas kekejaman kolonilias terhadap bangsa ini, dan orang-orang pada masa itu tak pernah menyoal segala jenis kegiatan dalam penyambutan hari kemedekaan, kecuali hanya menanti sang singa itu menaiki podium untuk berbicara perihal sejarah dan arah bangsa ini selanjutnya.
Lain hal dengan kita yang sekarang, pemimpin-pemimpin malah promosi capaian karir, atau jabatan, mengarahkan orang-orang untuk bersepakat sibuk merumuskan tentang lomba kegiatan apa yang akan ditampilkan pada perayaan HUT RI. “Hal inilah yang membuat saya memaknai kemerdekaan hanya sebatas eforia”
Baca Juga : Perempuan Ikut Terlibat di Program Digital Indosat Camp
Sejenak mari mulai bertanya pada pribadi. Apakah kita pernah menemukan siratan makna dari pidato pemimpin-pemimpin hari ini, dan belenggu lomba kegiatan rutin yang sering kita lakukan, atau segala kegiatan itu seolah membawa kita dalam selaman sejarah hingga mengerti tentang bagaimana bangsa ini di perjuangkan kemudian di merdekakan, atau terilhaminya sebuah kesadaran pada semua orang tentang kondisi bangsa yang diantar pada batas pintu gerbang saja, lalu penjajah kembali memukul mundur kita dengan new style colonization.
“Pikirku memang tidak”.
Alih-alih melanjutkan agenda revolusi yang belum selesai, kita malah tenggelam dalam stigma yang bersifat seremonial, karena wacana tentang hari kemerdekaan yang berkembang di masyarakat pun tidak lebih dari upacara bendera disertai perayaan yang sifatnya seremonial belaka.
Baca Juga : Indosat Miliki Misi Olah Sampah Plastik Jadi Produk Bernilai
Momok realitas ini terjadi dari tahun ketahun, nilai-nilai sejarah bangsa dan perjuangan para Tokoh-tokoh nasionalis menjadi hilang ditelan negara yang dibangun diatas pertumpahan darah rakyatnya. dan malah kita selalu mengasosiasikan hari kemerdekaan itu tidak lebih dari semarak perlombaan kegiatan agustusan.
Bagaimana tidak, perayaan HUT RI dari tahun-ketahun hanya menjadi ajang untuk mempersiapkan diri mengikuti berbagai kontestasi, katakanlah gerak jalan, lari karung, tarik tambang, panjat pinang, dan kegiatan eforian lainnya, yang kalau ditarik benang merah sejarahnya semua itu adalah peninggalan bangsa kolonialis untuk menghibur diri mereka dengan menjadikan bangsa pribumi sebagai lakon untuk ditertawakan.
Dan wajar-wajar saja jika ironi tentang banyak generasi yang tersohok dalam liang kegelapan sejarah bangsa makin membengkak, tidak memahami bagaimana taktik perjuangan gerilya Jendral Sudirman yang membuat ketar-ketir pasukan belanda, atau bagaimana sulitnya Pangeran Diponegoro merubuhkan siasat benteng stesel oleh Hendrick Markus De Kock yang dibangun di Semarang, Ambarawa, Muntilan, Kulon Progo, dan Magelang. Lalu tentang Derita Foundhing Father Indonesia ketika berada dipengasingannya terhitung dari Banceuy, Wisma Manumbing, Sukamiskin, Begkulu, Prapat, terlebih lagi Ende yang membuat hidupnya nyaris dilahap maut.
Baca Juga : Bawaslu Gowa Teruskan Penanganan Laporan Aurama’ Terkait Dugaan Pelanggaran ASN
Sebenarnya Kita perlu memikirkan ulang bahwa perayaan kemerdekaan bukan sekedar ruang memupuk gagasan merumuskan kegiatan yang tak jelas arahnya, yang kedudukannya dinafikan oleh sejarah bangsa. Harusnya wajah peringatan HUT RI kali ini sudah berbeda, lebih kepada kegiatan pemahaman sejarah nasionalisme dan arah bangsa ini kedepannya. Mengingat bangsa ini sudah cukup tua jika diukur dari sudut waktu dan itu akan jadi menarik tatkala tiap individu memaknai kemerdekaan bukan sebagai antusias berlomba-lombaan semata.