0%
logo header
Senin, 03 Juni 2024 13:34

Prof Suhufi Abdullah: Fenomena ‘Post-Truth’ Timbulkan Polarisasi Kelompok Beragama

M. Imran Syam
Editor : M. Imran Syam
Guru Besar UIN Alauddin, Prof. Dr. Suhufi Abdullah, M.Ag. (Istimewa)
Guru Besar UIN Alauddin, Prof. Dr. Suhufi Abdullah, M.Ag. (Istimewa)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR —
Fenomena ‘post truth’ menimbulkan polarisasi kelompok beragama, debat kusir antara perilaku keberagamaan yang cenderung hanya mengandalkan pembentukan narasi dalam berkomentar dan mengabaikan ‘nash-nash’ (suatu lafaz menunjukkan hukum dengan jelas yang diambil menurut alur pembicaraan) yang dapat menjadi dasar dan rujukan dalam fikih.

“Kondisi inilah yang menuntut adanya kontekstualisasi fikih. Kontekstualisasi dalam tulisan ini menawarkan dua bentuk: Penguatan ijtihad tațbiqīy dalam bentuk,” demikian Prof. Dr. Suhufi Abdullah, M.Ag. Dalam orasi penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Perbandingan Mazhab, UIN Alauddin Makassar, (28/05/2024).

Dalam orasi pengukuhan jabatan guru besar yang berlangsung dalam Senat Luar Biasa UIN Alauddin yang dipimpin Prof. Dr. Hamdan Juhanis, M.A., Prof. Suhufi Abdullah menyampaikan orasi berjudul “Fenomena ‘Post Truth’ dan Upaya Kontekstualisasi Fiqih Islam”.

Baca Juga : Pengukuhan Tiga Guru Besar UIN Alauddin, Rektor Hamdan: Prof Zudan Pemimpin yang Visioner

Menurut anak pasangan Drs.H.Abdullah-Hj St.Nadrah BA ini, salah satu gejala sosial masyarakat saat ini adalah adanya fenomena ‘post-truth’, yaitu sebuah kondisi saat masyarakat lebih cenderung dipengaruhi oleh informasi-informasi yang ‘viral’ dibandingkan  fakta-fakta dan etika-etika dalam berpendapat serta cenderung menyepakati hal-hal yang lebih dekat dengan keyakinan pribadinya.

“Fenomena ‘post-truth’ ini bermula dari semakin populernya penggunaan media sosial oleh masyarakat yang menjadikan akses masyarakat terhadap informasi semakin mudah dan cepat,” ujar Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin kelahiran Pangkep 18 November 1974 tersebut.

Prof. Suhufi Abdullah menyebutkan, Gobber mengartikan post-truth sebagai keadaan ketika fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk debat politik atau opini publik dibandingkan  menarik emosi dan keyakinan personal. ‘Post-truth’ merupakan suatu gejala ketika “fakta-fakta alternatif” telah menggantikan fakta aktual, pada tataran berikutnya mengakibatkan perasaan memiliki bobot lebih tinggi dari bukti-bukti.

Baca Juga : Pengukuhan 3 Guru Besar UIN Alauddin Makassar: Menguatkan Keilmuan dan Kualitas Pendidikan

“Walhasil, masyarakat ‘post-truth’ cenderung mengabaikan metode berpikir dialektis-dialogis yang sistematis-filosofis, dan seakan lebih tertarik pada berita atau informasi yang menarik emosinya atau konten informasi yang dekat secara personal dengan mereka, tanpa mempertimbangkan validitas informasi tersebut yang biasanya merupakan informasi yang tidak bersumber pada kerangka keilmuan yang benar, hoax (palsu) atau bahkan merupakan fitnah,”  ujar lulusan S-2 UIN Alauddin (2000) tersebut.

Menurut suami Dr.Fatmawati S.Ag., M.Ag., kebenaran dalam konteks post-truth cenderung diarahkan pada selera yang diinginkan kelompok sosial tertentu meskipun pada prinsipnya ‘kebenaran’ ini tak mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya. Sehingga, pada gilirannya masyarakat akan diselubungi antitesis dari pengetahuan dan kebenaran yang hakiki. Sebagai akibatnya, maka ‘post-truth’ akan rentan memprovokasi informasi yang diproduksi dengan tujuan mempermainkan dan mengaduk emosi khalayak dan menggiring sebuah kebenaran dalam menyampaikan informasi dan gagasan.
Dalam konteks keilmuan, sebut alumni Doktor UIN Alauddin 2010 ini, gejala ‘post-truth’ menjadi sebuah ancaman yang serius bagi ranah keilmuan, termasuk juga dalam ranah kajian keagamaan seperti bidang Ilmu Fikih.

“Post-truth dapat menjadi sebuah “bencana” pengetahuan yang dapat merusak pola berfikir dan pola nilai masyarakat,” kata Guru Besar UIN Alauddin dengan pangkat Pembina Utama Muda Golongan IV/c ini.  

Baca Juga : Rektor UIN Alauddin Siap Sinergi dan Dukung Program Pj Gubernur Bahtiar

Ayah dua anak ini menyebutkan, banyaknya informasi seputar fikih Islam yang ditawarkan di dunia maya (internet) sebagiannya dapat dikatakan “tidak bertuan” dan tidak jelas sumbernya. Bahkan terkadang informasi itu bersifat sangat subjektif dan tersebar begitu cepat dan justru mendapat kepercayaan dari masyarakat.

“Tidak hanya memercayainya, bahkan menjadi “agen” untuk menyebarkannya (share) lagi informasi tersebut karena dianggap sangat cocok dan bisa mewakili kondisi mereka serta dianggap ‘benar’. Dalam kondisi seperti ini maka terjadilah ‘post-truth’, yaitu nilai kebenaran hanya diukur dari aspek kecocokan penerima informasi, sehingga  faktor emosi dan keyakinan pribadi menjadi titik sasar yang dituju oleh penyebar informasi itu,” sebut Prof. Suhufi Abdullah kemudian mengatakan, ranah fikih menjadi sebuah sasaran yang sangat mudah terpapar ‘post-truth’ sebab fikih berkaitan dengan praktik ibadah keseharian yang sangat berkaitan dengan emosi dan keyakinan pribadi para pemeluknya.

Prof. Suhufi Abdullah menyebutkan, apalagi jika dikaitkan dengan dasar kajian fikih yang merupakan kajian yang senantiasa memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, sehingga sangat mengkhawatirkan jika kebenaran ‘post-truth’ ini dianggap sebagai salah satu pendapat ulama fikih atau bahkan bisa dianggap sebagai sebuah mazhab fikih. (*)

Penulis : M. Dahlan Abubakar
Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646