0%
logo header
Kamis, 12 Januari 2023 23:36

Ketua Umum SATUPENA Serahkan “Award” ke Musdah Mulia dan Eka Budianta

Ketua Umum SATUPENA Serahkan “Award” ke Musdah Mulia dan Eka Budianta

Penulis Berdedikasi Satupena 2022

REPUBLIKNEWS.CO.ID, JAKARTA — Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Kamis (12/01/2023) menyerahkan penghargaan Satupena Awards 2022 kepada dua penulis Indonesia yang dianggap berdedikasi, yakni Musdah Mulia untuk kategori nonfiksi dan Eka Budianta untuk kategori fiksi.

Melalui akun whatsapp keluarga “Alyaminy Generation”, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya M.A., suami Musdah Mulia, merilis foto penganugerahan penghargaan tersebut kepada Musdah Mulia dan Eka Budianta, pria kelahiran 1 Februari 1956 yang memiliki nama lengkap Christophorus Apolinaris Eka Budianta, tetapi lebih dikenal dengan sebutan Eka Budianta,  Ketua Umum Satupena Denny J.A. menyerahkan langsung penghargaan tersebut kepada keduanya.

Baca Juga : Obituari Hasyim Ado: Pernah Dibantingi Pistol

Penganugerahan SATU PENA AWARD 2022 oleh organisasi Ikatan Penulis Indonesia tersebut berlangsung  di Cemara Galeri Menteng, Jakarta Pusat yang dihadiri sekitar 300 orang undangan.

Ketua Umum Satupena Denny JA dalam keterangannya di Jakarta   6 Desember 2022 menjelaskan, tradisi memberikan penghargaan kepada para penulis berdedikasi adalah bagian dari gerakan literasi, menghidupkan Indonesia juga sebagai negara budaya. Tak hanya soal kekuasaan dan perdagangan, negara yang maju juga kuat secara kebudayaan.

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., suami Musdah Mulia, menjelaskan penetapan penulis berdedikasi dilakukan melalui proses seleksi, penilaian serta penjurian berjenjang selama tiga bulan oleh dewan juri yang terdiri atas para penulis dan pengurus Satupena dari Aceh hingga Papua.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (5-Habis)Wawancara Sambil Bermain Golf dengan Wapres

“Suara mereka ditampung dan diseleksi oleh enam koordinator Satupena  dari enam pulau, koordinator Sumatra, Jawa, Bali- NTT, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Mereka adalah Anwar Putra Bayu, Dhenok Kristanti, I Wayan Suyadnya, Hamri Manoppo, M Thobroni dan FX Purnomo,” jelasnya.

Denny JA menjelaskan bahwa terdapat sejumlah pertimbangan di balik penetapan tersebut. Musdah Mulia yang dilahirkan Bone, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 maret 1958.dipilih karena dedikasinya sebagai penulis buku yang mencerahkan untuk tema emansipasi wanita, dengan perspektif tafsir agama secara modern.

Musdah aktif juga di berbagai organisasi perempuan, dan juga organisasi profesi, seperti Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Women Shura Council (Majelis Perempuan Ulama}  berpusat di New York). Dia bersama K.H Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi dan sejumlah pemuka agama lainnya juga mendirikan  “Indonesian Conference on Religions for Peace” (ICRP).

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (4)Satu Malam, Bobol 4 Kantor BRI Unit

Musdah dikenal dengan karya-karyanya yang sangat vokal menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan, prinsip keagamaan yang moderat dan cinta perdamaian, di antaranya adalah, “Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan” (Mizan, 2005), “Perempuan dan Politik” (Gramedia, 2005), “Membangun Surga di Bumi: Kiat-Kiat Membina Keluarga Ideal dalam Islam” (Gramedia, 2011), “Mengupas Seksualitas” (Serambi, 2015), dan “Ensiklopedia Muslimah Reformis: Pokok-Pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi” (Penerbit Baca, 2020).

Atas dedikasinya, Musdah kerap meraih sejumlah penghargaan nasional dan internasional. Di antaranya adalah International Women of Courage Award dari Pemerintah Amerika Serikat (2007) atas kegigihannya memperjuangkan demokrasi dan Humanity Award (2019) dari International Forum for Peace and Human Rights atas kiprahnya merajut perdamaian melalui upaya-upaya penegakan HAM di Indonesia.

Musdah memulai pendidikan  SD Negeri Surabaya, pertengahan kelas 4 pindah di Jakarta dan masuk SD Negeri Koja, Jakarta Utara. Di sekolah ini ia mendapat guru kelas yang sangat memberi perhatian pada dirinya dan membimbingnya dengan penuh kasih sayang, namanya Pak Soetomo. Selain mendorong aktif belajar, guru ini juga mendorong aktif di berbagai kegiatan lomba, misalnya ia pernah diikutkan dalam kegiatan “Musabaqah Tilawatil Quran Tingkat Anakanak se-Jakarta Utara. Waktu itu ia tahu bahwa dirinya gagal menjadi pemenang,tetapi Pak Soetomo memberikan bingkisan hadiah kepadanya sambil mengatakan “kamu menang dan sebagai hadiahnya terimalah ini’. Dua tahun ia belajar di sini dan selalu terpilih menjadi “Pelajar Teladan”.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Kelas 6 pindah ke SD Kosambi, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kepala sekolahnya seorang perempuan yang memiliki karakter yang tegas, perkasa, dan  disiplin serta ditakuti oleh semua murid. Profil kepala sekolahnya itu secara tidak langsung menjadi idolanya.  Setelah tamat SD (1969), dia masuk Madrasah Tsanawiyah di Pondok As’adiyah Sengkang, Ibukota kabupaten Wajo. Tamat PGA As’adiyah (1973) ia ikut kakek dan neneknya pindah ke Makasar dan melanjutkan ke SMA Perguruan Islam Datumuseng Makasar. Sayang sekali niatnya untuk melanjutkan ke IAIN Makasar terhambat karena harus pindah ke Sengkang.

Di kota ini ia melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Islam As’adiyah dan memilih Fakultas Ushuludin (Teologi). Waktu itu perguruan tinggi masih menggunakan sistem tingkat, bukan semester seperti sekarang. Evaluasi belajar mahasiswa diadakan sekali dalam setahun, yaitu diakhir tahun perkuliahan. Perguruan Tinggi ketika itu mengenal dua jenjang; jenjang Sarjana Muda ditempuh 2 tahun dengan gelar BA (Bachelor of Art) dan Sarjana Lengkap Selama 4 tahun dengan gelar Doctorandus (laki-laki) dan Doctoranda (perempuan), padahal di negeri Belanda Doktorandus dipakai untuk laki-laki dan perempuan.

Selain di Ushuluddin, ia pun ikut kuliah pada Fakultas Syari’ah (Hukum Islam) karena di sini ditawarkan pengkajian kitab-kitab kuning tentang hadits dan fiqh dengan metode sorogan. Selama dua tahun di Fakultas Ushuluddin Musdah mengukir namanya sebagai Mahasiswa Teladan. Masuk tahun ketiga, pindah ke Makasar dengan begitu niatnya untuk masuk ke IAIN Makasar menjadi kenyataan meskipun harus mulai dari tingkat 1 lagi.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Musdah meraih S-1 di Fakultas Adab IAIN Alauddin pada tahun 1982, S-2 di IAIN Sjarif Hidayatullah (1992). Setelah meneliti di Kairo 1994, tiga tahun kemudian, Musdah meraih gelar doktor di IAIN Sjarif Hidayatullah Jakarta pada  27 Maret 1997. Musdah mempertahankan disertasinya dengan judul: Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal di hadapan Sidang Tim Penguji dalam ujian promosi yang diketuai oleh Rektor IAIN, Prof. Dr. Quraish Shihab, MA dengan penguji yang terdiri atas Prof. Dr. Harun Nasution, Prof. Dr. Munawir Syazali, Dr. Johan Meuleman, Prof. Dr. Mulyanto Sumardi, Prof. Dr. A. Rahman Zainuddin dan Dr. Muslim Nasution, dan dinyatakan lulus dengan predikat amat baik.

Ia diwisuda dengan memperoleh penghargaan doktor teladan IAIN Syarif Hidayatullah untuk tahun ajaran 1996/1997. Sementara sang suami (Ahmad Thib Raya) lulus pada tahun berikutnya. Ternyata, ia mampu menyelesaikan studi lebih cepat daripada suaminya, padahal beban yang diembannya jauh lebih berat.

Ia doktor ke-117 yang dihasilkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tetapi dalam urutan perempuan yang mencapai doktor di IAIN tersebut ia baru urutan ke-4. artinya 117 doktor yang dihasilkan IAIN Jakarta selama 15 tahun sejak berdirinya (1982-1997), hanya ada empat perempuan.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Tiga tahun berikutnya, 4 Mei 1999 ia dikukuhkan sebagai Ahli Peneliti Utama Lektur Keagamaan di depan Sidang Majelis Pengukuhan Ahli Peneliti Utama yang di pimpin oleh ketua LIPI, Dr. Soefyan Tsauri, MSc, APU. Dalam upacara pengukuhan itu ia menyampaikan orasi ilmiahnya yang berjudul: Potret Perempuan Dalam Lektur Agama. Jabatan itu setingkat dengan profesor.

Eka Budianta

Sementara itu, Eka Budianta karena dedikasinya di dunia sastra. Ia dianggap oleh para juri sangat paripurna. Dia menguasai teori kesastraan secara mendalam. Selain dikenal sebagai seorang penulis senior yang banyak menghasilkan karya sastra, terutama puisi dan prosa, dia juga berperan serta menumbuhkan penyair serta penulis muda melalui Yayasan Pustaka Sastra yang dia dirikan bersama F. Rahardi.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Aktif menulis cerpen dan puisi sejak di bangku SMA, hingga saat ini, dia telah menulis lebih dari 40 buku, baik kumpulan puisi maupun cerpen. Eka juga mendedikasikan hidupnya untuk dunia kepenulisan.

Bukunya yang berjudul “Cerita di Kebun Kopi” (Balai Pustaka, 1981) dinyatakan oleh pemerintah sebagai bacaan di sekolah, sedangkan buku “Sejuta Milyar Satu” dipilih sebagai bahan literatur tambahan dan mendapat penghargaan khusus dari Dewan Kesenian Jakarta tahun 1985.

Bahkan Prof. Dr. A Teeuw dalam bukunya Modern Indonesian Literature II (The Hague, 1979) pernah meramalkan bahwa nama Eka Budianta akan menjadi penulis besar dalam dekade 1980-an.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Denny JA menjelaskan, para penerima penghargaan tersebut akan mendapatkan hadiah berupa sertifikat dan uang tunai masing-masing senilai Rp 35 juta rupiah. Penyerahan penghargaan akan dilaksanakan dalam acara Satupena Award 2022 yang akan dilaksanakan 12 Januari 2023.

Eka Budianta, (lahir 1 Februari 1956), Nama lengkapnya, Christophorus Apolinaris Eka Budianta atau lebih dikenal dengan sebutan Eka Budianta merupakan anak pertama pasangan Thomas Astrohadi Martoredjo dan Monika Dauni Andajani.

Setelah lulus dari SMA ST Albertus di Malang (1974), Eka Budianta melanjutkan pendidikan ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Di FSUI ia mulai menulis dan menerbitkan karya-karyanya (1975-1979). Pendidikan terakhirnya lulus program kepemimpinan lingkungan dan pembangunan  “Leadership for Environment and Development” (LEAD) dengan studi lapangan di Costa Rica, Okinawa dan Zimbabwe (1995-1997).

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Dalam perjalanan kariernya, Eka Budianta pernah menjadi wartawan majalah Tempo (1980-1983), koresponden koran Jepang Yomiuri Shimbun (1984-1986), asisten pada Pusat Informasi Perserikatan Bangsa-bangsa (UNIC), BBC London, UNDP, Puspa Swara, dan lain-lain.[2] Ia ikut aktif dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk Bina Swadaya, Komunitas Sastra Indonesia dan Yayasan Dana Mitra Lingkungan (1994-1998). Eka Budianta juga tercatat pernah mengikuti Iowa Writers Program di Iowa, Amerika Serikat.

Bersama F.Rahardi mendirikan Yayasan Pustaka Sastra, yang mengkhususkan diri menerbitkan karya sastra. Fajar Sastra merupakan kumpulan dwibahasanya yang dipadukan dengan foto-foto Boedihardjo, diterbitkan Pustaka Sastra awal 1997.

Eka Budianta menikah dengan Melani Budianta yang kini menjabat sebagai guru besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Dari pernikahan ini, Eka dan Melani Budianta dikaruniahi empat orang anak (seorang meninggal).

Penulis : M. Dahlan Abubakar
Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646