0%
logo header
Senin, 10 Oktober 2022 19:12

Pola Edukasi Penagihan Pajak yang Efektif

Asril Astian
Editor : Asril Astian
Pola Edukasi Penagihan Pajak yang Efektif

Oleh: Ali Mochamad Sofi’i (Penyuluh Pajak Ahli Madya Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Salah satu aspek pelaksanaan pengawasan perpajakan di Indonesia adalah penegakan hukum khususnya di bidang penagihan pajak. Dasar hukum tindakan penagihan pajak adalah Undang-undang no. 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Undang-undang ini kemudian diubah dengan Undang-undang no. 19 tahun 2000 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Secara teknis mekanisme penagihan pajak yang terakhir di atur dalam PMK.189/PMK.03/2020 tentang Tata cara pelaksanaan penagihan pajak atas jumlah pajak yang masih harus di bayar.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu peran penyuluh dan metode edukasi yang tepat dalam bidang penagihan pajak. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan penagihan pajak menurut penulis adalah:

  1. Kualitas dasar penagihan pajak. Dasar penagihan pajak dibedakan berdasarkan jenis pajaknya. Dasar penagihan pajak untuk PPh, PPN, dan PPnBM, serta bunga penagihan adalah: Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pemberatan, Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah. Sedangkan dasar penagihan pajak untuk PBB adalah Surat Pemberitahuan Pajak Terutang PBB, Surat Ketetapan PBB, Surat Tagihan Pajak PBB. Secara garis besar STP dan SKP di hasilkan dari proses pemeriksaan. Pemeriksaan bersifat post audit artinya setelah terlewatinya masa tahun pajak yang di jadikan objek pemeriksaan, sehingga kualitas dasar penagihan ditentukan pada objek pemeriksaan dan dokumen pendukung saat proses pemeriksaan berlangsung.
  2. Tingkat pemahaman wajib pajak terhadap hak dan kewajibannya terhadap utang pajak. Wajib pajak diberikan hak oleh Undang-Undang perpajakan untuk menggunakan haknya setelah menerima tagihan pajak. Untuk tagihan STP, wajib pajak dipersilahkan mengajukan pengurangan sanksi. Untuk tagihan SKP wajib pajak dipersilahkan mengajukan keberatan, dan apabila wajib pajak merasa belum puas dengan keputusan keberatan bisa mengajukan upaya hukum lanjutan berupa pengajuan banding dan peninjauan kembali. Perbedaan hak wajib pajak atas STP dan SKP sangat penting agar wajib pajak tidak salah jalur dalam menggunakan hak perpajakannya. Tingkat pemahaman yang belum utuh atas hutang pajak bisa menjadikan wajib pajak kurang responsif untuk melunasi utang pajak.
  3. Kemampuan bayar wajib pajak dalam melunasi utang pajak dan biaya penagihan. Kondisi keuangan/likuiditas wajib pajak berbeda-beda, apalagi covid-19 masih melanda Indonesia. Imbas covid-19 masih di rasakan oleh para wajib pajak. Di satu sisi bahwa temuan saat pemeriksaan, memang sesuai data yang ada, tetapi karena kemampuan likuiditas perusahaan terganggu maka wajib pajak terkendala dalam melunasi utang pajak.
  4. Upaya hukum yang sedang dilakukan wajib pajak. Pelunasan utang pajak bisa tertunda pelunasannya saat wajib pajak masih melakukan upaya hukum. Walaupun dalam mekanisme penagihan di sebutkan bahwa kegiatan penagihan tidak tertunda walaupun wajib pajak sedang melakukan upaya hukum.
  5. Pola komunikasi wajib pajak dan fiskus. Penagihan pajak adalah kegiatan yang imbasnya bisa sampai pada tindakan yang bisa mengganggu usaha wajib pajak. Salah satunya adalah kegiatan penyitaan aset wajib pajak, terutama kegiatan blokir rekening WP/PP yang tersimpan di lembaga jasa keuangan (LJK) sektor perbankan, bisa mengganggu jalannya usaha wajib pajak, terlebih jika yang terblokir adalah rekening perusahaan yang dipergunakn untuk transaksi usaha wajib pajak. Begitu juga kegiatan pencegahan dan penyanderaan wajib pajak/penanggung pajak, bisa membatasi hak kebebasan individu WP/PP. Maka sangat diperlukan pola komunikasi yang konstruktif antara wajib pajak/penanggung pajak dengan fiskus (JSPN).

Baca Juga : Golden Visa dan Pajak

Dari beberapa faktor di atas, solusi yang penulis sarankan dari sisi edukasi perpajakan khususnya dalam kegiatan penagihan pajak adalah sebagai berikut:

  1. Penentuan sasaran prioritas edukasi penagihan pajak dengan cermat. Kita faham bahwa kemampuan bayar wajib pajak sangat beragam. Maka perlu perencanaan sasaran edukasi yang tepat, disesuaikan dengan target edukasi perpajakan dengan harapan outcame nya perubahan perilaku wajib pajak dengan melunasi hutang pajaknya. Saat pandemi covid-19 masih melanda, maka sasaran utama adalah wajib pajak yang kemampuan bayarnya tinggi, yang wajib pajak yang sektor usahanya tidak terkena dampak covid dan sektor yang berkembang saat covid 19. Dengan pemilihan sasaran utama di wajib pajak sektor tersebut maka harapan keberhasilan penagihan lebih baik bisa di capai.
  2. Peningkatan pemahaman wajib pajak atas hak dan kewajibannya saat menerima tagihan pajak. Tingkat pemahaman wajib pajak sangat penting dalam keberhasilan pelaksanaan mekanisme penagihan pajak. Pola edukasi yang bisa di pilih lebih tepat dengan metode penyuluhan langsung aktif dua arah dengan masing-masing wajib pajak atau pola edukasi one on one. Pola ini sangat bagus digunakan karena di dalam kegiatan tersebut juga membahas pola penyelesaian hutang pajak, selain menjelaskan aturan umum mekanisme penagihan pajak. Dalam pelaksanaan edukasi one on one perlu melibatkan tiga fihak yaitu WP/PP, Penyuluh pajak dan JSPN. Penyuluh pajak berperan menjelaskan mekanisme penagihan pajak. JSPN menjelaskan tindakan penagihan yang sedang dan akan dilakukan terhadap tagihan pajak. WP/PP menjelaskan tentang kondisi likuiditas perusahaan, progres penyelesaian utang pajak dan langkah yang sedang diklaksanakan terhadap utang pajak. Dalam edukasi one on one tersebut bisa di diskusikan mekanisme penyelesaian hutang pajak yang bisa dilakukan. Hal ini penting agar tingkat kooperatif wajib pajak bisa di buktikan, selain komitmen penyelesaian tunggakan pajak di laksanakan. Outcome yang di harapkan adalah tindakan penagihan aktif lanjutan berupa penyitaan aset, pencegahan maupun penyanderaan bisa di hindari. Setelah edukasi dilaksanakan, tetapi WP/PP tidak melaksanakan komitmen yang sudah disampaikan saat one on one, maka JSPN bisa melanjutkan kegiatan penagihan sampai tahap akhir tahapan penagihan aktif.
  3. Pelibatan penyuluh pajak pada saat pelaksanaan penagihan aktif di lapangan. Pada saat JSPN melaksanakan penagihan aktif ke WP, perlu melibatkan penyuluh pajak. Hal ini penting agar penyuluh bisa melakukan edukasi tentang mekanisme penagihan aktif yang sedang berlangsung dan WP menjadi faham apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Sebagaimana  diketahui bahwa penagihan pajak merupakan rangkaian kegiatan yang saling terhubung dan berlanjut sampai utang pajak di lunasi. Selain hal tersebut, penyuluh bisa menjadi saksi dalam kegiatan penagihan aktif tersebut.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa penentuan sasaran prioritas WP untuk edukasi penagihan perpajakan dan teknis edukasi yang tepat sangat menentukan keberhasilan proses edukasi perpajakan dan pencapaian kinerja DJP di bidang penagihan pajak. Di samping itu keberhasilan edukasi penagihan pajak bisa meminimalkan resiko penolakan WP saat kegiatan penagihan berlangsung. Prinsip utama yang ingin di capai adalah WP harus terus berkembang usahanya, sehingga ada laba usaha dan dari laba usaha itulah potensi pajak bisa di ambil. Di sisi lain kegiatan penagihan sebgai salah satu instrumen sistem perpajakan di Indonesia khususnya dalam bidang penegakan hukum bisa dilaksanakan. Sebagai penutup, bahwa keberlangsungan usaha wajib pajak dan mekanisme penagihan pajak bisa berjalan bersama-sama demi kemajuan pembangunan nasional Indonesia.

Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646