0%
logo header
Minggu, 05 Mei 2024 10:54

Catatan Mudik 2024 (6)Gadis Cantik Diperebutkan Dua Putra Mahkota

Asril Astian
Editor : Asril Astian
Hutan Tanaman Jagung di Sisi Teluk Bima. (Foto: M. Dahlan Abubakar)
Hutan Tanaman Jagung di Sisi Teluk Bima. (Foto: M. Dahlan Abubakar)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, BIMA — Acara jalan-jalan kami lanjutkan keesokan hari, 16 April 2024, sehingga saya dan istri harus menginap lagi di Kota Bima semalam. Tujuan berikutnya, Kecamatan Donggo yang terletak di lereng Gunung Soromandi, di sebelah barat Teluk Bima.

Rute ini sebenarnya pernah saya jalani pada tahun 2022, setelah rombongan kami usai berlatih tenis meja bersama dengan beberapa petenis meja Desa Bajo. Dalam perjalanan pulang ke Kanca, Kecamatan Parado,  saya  minta rombongan mengambil dan mengikuti rute menuju Donggo. Pada pertigaan dengan yang menuju ke Donggo Kala (sebelah kanan), kami mengambil jalan ke kiri untuk menyusuri jalan menurun hingga sampai ke kota kecil, Sila yang ada di poros trans-Sumbawa. Rute ini diambil mengingat hari sudah sore dan kami ingin tiba di Kanca tidak terlalu malam.

Abdullah Tayib seperti dikutip Alan Malingi dalam  tulisannya di media daring menyebut, ada 7 desa di Donggo Ipa sebagai penutur bahasa Bima lama yaitu di Doridungga, Kananta, Padende, Palama, O’o, Kala, dan Mbawa. Berbeda dengan di Donggo Ele, bahasa di Donggo Ipa bisa dikatakan punah meskipun masih ada beberapa orang yang masih mengingat kosakatanya. Dominasi Bahasa Bima baru cukup besar dan diperkirakan dalam proses yang panjang, bahasa Donggo Ipa ini tergeser dan masyarakatnya telah menggunakan bahasa Bima baru.

Baca Juga : Obituari Hasyim Ado: Pernah Dibantingi Pistol

Sebagimana Donggo Ele,dalam berbagai literatur sejarah Bima merupakan penduduk asli Bima sebelum datangnya kaum pendatang dari berbagai belahan negeri.

Di Donggo Ipa juga memiliki senandung menanam Arugele, Mpisi, Kalero, Inambaru, Kande Ntadi Ro Ntedi dan mantra-mantra. Di Donggo Ipa juga menyimpan kekayaan cerita rakyat seperti La Hila, La Lindu, Dapidore, La Gandi, cerita Gajah Mada, Garuda dan cerita rakyat lainnya. Disamping itu, Donggo Ipa juga memiliki atraksi kesenian Mpa’a Ncala dengan menggunakan tongkat dan saling melempar serta menangkis. Kesenian Donggo melekat dengan urusan upacara-upacara adat baik upacara menanam, upacara daur hidup maupun kematian.

Jarak Kota Bima dengan Donggo Kala 47,9 km dan dapat dijangkau dengan lama perjalanan menggunakan kendaraan roda empat selama 1 jam 15 menit. Jalan ke Donggo Kala sudah tersiram aspal, namun penuh dengan tanjakan dan penurunan tajam. Ruas jalan juga sempit, sehingga kendaraan yang berpapasan harus mencari ruang jalan yang lebar untuk saling melintas.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (5-Habis)Wawancara Sambil Bermain Golf dengan Wapres

Kondisi jalan di sana-sini masih ada yang berlubang. Tampaknya, jalan beraspal ini sudah berusia beberapa tahun. Di kiri kanan jalan, seperti kebanyakan wilayah Bima saat kami berkunjung, penuh dengan pemandangan tanaman jagung yang ditanam di ladang dan sudah siap dipanen. Beberapa di antaranya sudah memanen tanamannya dan tumpukan karung berisi tongkol-tongkjol jagung di tepi kebun/ladang, menunggu kendaraan pengangkut.
Letak rumah warga karena umumnya berada di bagian tanah yang tidak rata, tegak di pinggir lereng bukit kecil. Kebanyakan rumah mengikuti kontur bukit. Beberapa di antaranya sudah banyak terbuat dari rumah batu. Gedung. Sepanjang jalan, kami hanya melihat pemandangan dari atas mobil yang dikemudikan Boman yang pernah berdomisli di Jakarta dalam posisi terus meluncur. Tidak sekali pun kami berhenti hingga tiba di Kantor Desa Kala yang permanen di sebelah kiri jalan yang terus menurun. Saya hanya sempat sekali memotret kantor desa ini yang letaknya di sebelah kiri jalan.

Desa Kala sebagaimana desa-desa yang dibangun di wilayah perbukitan, juga berjejer di sepanjang bagian bukit. Ada juga lorong yang sudah diaspal. Mungkin menggunakan sebagian dana desa karena dirasakan sangat dibutuhkan warga.
Saat membaca dan mengingat Donggo Kala, saya tiba-tiba terkenang dengan kisah seorang gadis yang sangat cantik berasal dari daerah ini yang ditulis oleh teman saya mendiang Alan Malingi yang nama aslinya Muhammad Ruslan.

Tidak ada yang tahu tentang orang tua  gadis cantik ini. Yang orang kenal, namanya La Hila dan dibesarkan oleh seorang nenek yang bernama Wa’I Kimpi. Dengan penuh ketabahan, Wa’i Kimpi membesarkan La Hila. Dia menjaga dan merawat gadis ini  bagaikan  anak kandungnya sendiri. Kasih sayang Wa’i Kimpi tiada pupus baginya.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (4)Satu Malam, Bobol 4 Kantor BRI Unit

Mendiang Alan Malingi, budayawan Bima yang sangat aktif mengoleksi kisah sejarah dan kebudayaan Bima, juga menyebut kisah La Hila ini dalam tulisannya.

“Kecantikan La Hila tiada bandingnya,” kisah Alan Malingi dalam tulisannya berjudul “Kisah LA HILA, Gadis Donggo Tercantik Sejagad” yang dimuat ‘Lakeynews” 26 November 2017
Alan Malingi menulis, wajahnya  bulat, putih dan bersih. Hidungnya  mancung. Bibirnya manis dan tipis. Lehernya  yang indah, jika meminum sesuatu kelihatan aliran air dan makanannya. Jika ingin mengeringkan rambutnya disiapkanlah tujuh buah galah untuk menjemur rambutnya. Kisah La Hila laksana cerita gadis cantik yang banyak digambarkan oleh para penyair Indonesia angkatan 20-an.

Perangai La Hila pun sangat baik dan bersahaja. Tutur katanya sangat halus. Tingkah lakunya sungguh sopan. Semua orang di kampung itu senang melihat La Hila. Seperti ungkapan La Hila adalah kuncup dan bunga desa itu. Bunga dari sekian banyak bunga di kampung kala itu.
Ada sebuah telaga bambu (kolam) yang mengalir dan airnya cukup bersih. Telaga Bambu itulah yang menjadi tempat mandi La Hila bersama inang pengasuhnya. Tujuh perempuan (pengawal) dibutuhkan untuk memegang rambut La Hila. Tujuh buah kelapa yang digunakan untuk keramas rambut La Hila. Pokoknya mesti tujuh. Seperti tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Kecantikan dan kemolekan La Hila sudah tersiar ke seluruh negeri. Banyak pemuda yang ingin melihat La Hila. Kabar tentang kecantikan La Hila sudah tersiar hingga ke kerajaan Bima dan Tanah Sanggar. Di Kerajaan Bima, ada putra Mahkota yang tampan bernama Siri Gandi, sedangkan di kerajaan Sanggar ada putra Mahkota yang juga tampan bernama Siri Dungga.
Keduanya sama-sama ‘menggilai’ La Hila.

Karena ingin melihat La Hila, putra mahkota Kerajaan Bima yang bernama Siri Gani pergi berburu ke Dataran Tinggi Donggo. Dia sangat ingin melihat La Hila. Pada suatu ketika di pagi hari, La Hila sedang mandi. Dia berjalan mengikuti La Hila hingga tiba di rumahnya. Dia sampaikan keinginannya pada Wa’i Kimpi yang sedang memasak.
Siri gandi menyampaikan keinginannya kepada “Wa’i Kimpi.

“Saya putra mahkota Kerajaan Bima. Saya mencintai La Hila dan ingin menikahinya,” kata Putra Mahkota Bima itu.
“Itu keinginan yang baik sekali, tapi semua itu akan berpulang pada keinginan hati La Hila,” jawab Wa’i Kimpi. “Itulah yang ingin saya sampaikan. Apakah saya harus menyuruh juru lamar kerajaan untuk datang kemari?,” Siri Gani menawarkan.
“Saya bertanya dulu pada La Hila,” jawab Wa’I Kimpi.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Sesaat kemudian Wa’i kimpi pergi menanyakan kepada La Hila.  La Hila menjawab bahwa dia akan berpikir-pikir dulu.

“Akan tetapi, tidak apalah jika putra mahkota datang untuk jalan-jalan kalau ada waktu,” jawab La Hila  dan Siri Gani yang mendengar ucapan La Hila tersebut sangat senang, karena  menganggap itu menandakan  ada yang ditunggu.
Keesokan hari, Putra Mahkota Kerajaan Sanggar yang bernama Siri Dungga pun mendatangi kediaman La Hila. Melihat kecantikan La Hila matanya tiada berkedip. Seperti halnya Siri Gani, Siri Dungga juga ingin menikahi La Hila.
Sehabis mandi, Siri Dungga bersama para pengawalnya mendatangi kediaman La Hila. Dia menyampaikan langsung keinginannya kepada La Hila.

“Berikan kesempatan saya untuk berpikir. Tapi tidak apa-apalah jika datang untuk jalan-jalan dulu,” jawaban yang sama kepada Siri Gani pun disampaikan kepada Siri Dungga.

Mendengar jawaban La Hila itu, senanglah hati Siri Dungga. Hatinya laksana bunga yang sedang mekar. Karena senang, dia tidak pernah berpikir jauhnya tanah Sanggar untuk pulang pergi ke tanah Donggo.

Hati La Hila sudah mulai bimbang. Susah memilih di antara dua pemuda yang mencintainya. Mereka sama-sama baiknya, gagahnya, dan sama-sama anak raja. Jika diterima cintanya Siri Gani dia takut atas kemarahan Raja Sanggar. Begitu juga sebaliknya, jika dia terima cintanya Siri Dungga, takut akan kemarahan Putra Mahkota Raja Bima. Dia mulai takut akan terjadi peperangan di  antara dua kerajaan itu. Dia tidak bisa tidur sepanjang malam. Berpikir dan terus berpikir siapa yang harus dia terima di antara keduanya.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

‘Ibu, saya sedang dalam keadaan sangat susah, memilih di antara dua pemuda,” La Hila mengungkapkan perasaan hatinya yang gundah kepada Wa’I Kimpi keesokan harinya

“Ya, anakku. Saya juga berpikir hal yang sama. Saya khawatir ini akan terjadi peperangan dan kerebutan antara dua Kerajaan,” jawab Wa’I Kimpi yang ternyata  juga merasakan dan berpikir hal yang sama seperti anaknya, La Hila. 

“Bagaimana Ibu, jika dua orang itu sama-sama datang,” dengan perasaan sedih La Hila kembali bertanya kepada Wa’I Kimpi dan mengungkapkan dirinya sampai-sampai ingin   menghilang dari Tanah Donggo. 

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

“Berpikirlah kembali anakku. Saya tergantung keputusanmu, tapi kamu harus punya pilihan,”  Wa’i Kimpi berpesan dan berusaha menenangkan hati  La Hila.
Sebagaimana biasa La Hila, pada hari berikutnya,  pergi mandi dengan Wa’i Kimpi dan beberapa gadis desa. Ketika sedang asyik mandi, dia melihat ke atas di celah pohon beringin besar ada dua orang pemuda yang sedang berdiri berhadap-hadapan dan saling mengeluarkan keris. Sesaat kemudian dua orang pemuda tampan itu berkelahi. La Hila, Wa’i Kimpi, dan beberapa gadis itu mengenal dua pemuda yang sedang bertarung itu. Tiada lain,  Siri Dungga Putra Mahkota Kerajaan Sanggar dan Siri Gani Putra Mahkota Bima yang sedang bertarung hidup mati memperebutkan gadis cantik La Hila..
Ketika pertarungan saling terjadi di antara dua putra mahkota itu, berteriaklah Wa’i Kimpi melarang mereka berkelahi. Akan tetapi tidak dihiraukan oleh keduanya. Mereka tetap bertarung dan berguling-guling di atas bukit itu. Mereka saling menikam di atas bukit itu. La Hila hanya terdiam, air matanya berlinang. Namun, tidak kelihatan tangisannya. Wa’i Kimpi dan beberapa gadis itu terus berteriak melarang mereka berkelahi.
Wa’i Kimpi sesaat kemudian melihat keduanya tergeletak di atas bukit.  Mungkin mereka sudah tewas. Wa’i Kimpi memanggil laki-laki penduduk kampung  dan meminta agar ke atas bukit untuk melihat dan memberhentikan perkelahian kedua putra mahkota itu.

Wa’i Kimpi dan beberapa gadis pun  kembali ke tempat permandian. Namun, apa yang terjadi? La Hila sudah tidak ada di tempat itu. Dia telah menghilang. Mungkin tidak tahan melihat kedua putra mahkota itu bertarung hidup mati karena memperebutkan dirinya sebagaimana yang dia duga sebelumnya.

Wa’i Kimpi merasa sedih dan gelisah atas kehilangan La Hila. Anak yang dia besarkan setelah dibuang orang tuanya. Dia besarkan layak anaknya sendiri. Wa’i Kimpi terus-menerus menangis. Beberapa gadis desa juga turut menangis karena setiap hari mereka bersama-sama. La Hila dicari dan terus dicari, tetapi tidak pernah tampak. Mereka memanggil pada setiap pojok kampung, Saat orang-orang yang mendaki bukit pergi melihat Siri Dungga dan Siri Gani, mereka tidak melihat dua orang Putra mahkota itu. Mereka menemukan sisa darah yang kemudian menjadi merah menyala di gunung tersebut. Ada  dua buah batu seperti halnya kuburan. Orang-orang itu  takut menaiki bukit itu. Lantaran tidak lagi melihat dua orang saling yang baru saja saling menikam itu, ternyata keduanya  sudah menghilang juga. Dicari dan terus dicari setiap pohon dan mata air, tetapi tidak ada yang menyangkut.

Setiap hari Wa’i Kimpi terus mencari La Hila. Namun, tidak pernah menemukannya. Setelah itu, Wa’i Kimpi melantunkan senandung untuk terus mencari La Hila.
“Di manakah wahai anakku La Hila yang bagai sekuntum bunga, Yang cantiknya tiada terkira, yang bayangannya selalu hadir”.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Di dekat kolam (telaga bambu) tempat La Hila,  Wa’i Kimpi, dan para gadis itu biasa mandi, tiba-tiba tumbuh serumpun bambu. Bambu itu cukup rindang. Duduklah Wa’i Kimpi di dekat pohon bambu tersebut. Dalam tangisannya, dicubitnya batang-batang bambu (rebung) itu.  Wa’i Kimpi terkejut saat mendengar suara tangisan dari dalam bambu (rebung).

“Ibu…ibu…jangan dicubit bambu ini. Ada saya di dalam bambu ini. Di sinilah tempat putrimu, La Hila. Jangan ibu mencarinya. Beginilah nasibku wahai, lbuku. Kalau lbunda rindu kepadaku, datanglah ke tempat ini dan jadikanlah tempat ini sebagai kuburan. Setiap tahun peringatilah putrimu ini,” tiba-tiba terdengar suara dari rumpun bambu.

Mengingat pesan-pesan putri La Hila itu, setiap tahun diadakanlah keramaian dan kesenian berupa kalero, mpisi, dan lain-lain di dekat rumpun bambu tersebut.
“Iya anakku, engkaulah La Hila?,” Wa’i Kimpi bersenandung sembari memeluk bambu itu.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

“Iya ibu, saya La Hila. Lebih baik saya menghilang begini agar tidak terjadi keributan, peperangan karena memperebutkan saya ,” suara dari bambu itu berlanjut.

Wa’i Kimpi tidak bisa menahan tangisannya. Dia terus menerus memeluk rumpun bambu itu. Akhirnya, bambu, sumur, dengan rumah tempat tinggal La Hila masih ada sampai sekarang di Desa Kala Kecamatan Donggo Kabupaten Bima
Sayang, rombongan kami tidak sempat ke objek legenda La Hila ini.. (M.Dahlan Abubakar, Bersambung*)

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646