REPUBLIKNEWS.CO.ID, BIMA — Setelah melintasi Desa Kala, di Desa Wadukopa, yang berpenduduk sekitar 2.000 jiwa ini, berjarak 46,3 km dari Kota Bima atau dapat dijangkau dengan lama perjalanan sekitar satu jam 8 menit kami berhenti. Prof. Musdah mampir di sebuah masjid di desa ini. Ada ruang kecil di samping masjid yang diperkirakan sebagai tempat yang menyediakan air, ke sana Profesor Muslimah ini melangkah kaki.
Saya menunggu di mobil sambil berbincang-bincang dengan orang anak kecil yang masih duduk di kelas 2 sekolah dasar menggunakan bahasa Bima. Jalan di Desa Wadukopa (wadu=batu, kopa=telapak kaki. Jadi batu telapak kaki) sudah mulus dengan beton. Mungkin inilah jalan pertama di Bima yang menggunakan beton yang pernah saya lihat. Panjangnya sekitar satu kilometer dengan kondisi menurun dan mendaki jika dari arah sebaliknya.
Lebar jalan beton ini antara 2,5 s.d.3m. Sayang di kiri kanan jalan beton ini masih ada lebar jalan masing-masing sekitar 2m yang tidak terbeton. Dikhawatirkan jalan yang terbuat dari tanah itu akan tergerus air jika hujan lebat turun. Apalagi kondisi jalan menurun. Mudah-mudahan saja tidak terkikis karena selokan di kiri kanan jalan tersedia.
Baca Juga : Obituari Hasyim Ado: Pernah Dibantingi Pistol
Ternyata, mulusnya jalan di desa ini, berawal dari protes masyarakat setempat. Mereka mengungkapkan, tujuh tahun jalan desa ini rusak parah dan mempertanyakan kinerja wakil mereka yang dua orang duduk di DPRD Kabupaten Bima sebagaimana dimuat Tribunlombok.com 14 Maret 2022. Dalam urusan pemilihan legislatif (pileg), masyarakat Kecamatan Donggo sangat disiplin dan patuh. Mereka hanya akan memilih caleg yang berasal dari kecamatannya sendiri sekencang apapun politik yang yang digencarkan oleh caleg dari luar kecamatan. Bahkan konon mereka mengingatkan caleg eksternal agar tidak perlu buang-buang uang di kecamatan ini. Masyarakat akan tetap konsisten memilh caleg internal kecamatannya.
Warga mengeluhkan jalan berlubang dan dipenuhi kerikil, licin, dan becek. Kondisi jalan rusak ini sudah tujuh tahun dirasakan warga. Jalan ini menghubungkan dua desa, Kala dan Wadukopa. Jaraknya sekitar 1 km. Sekretaris Desa Wadukopa, Harwidiansyah mengatakan jalan tersebut dibangun pemerintah sejak tahun 2012 dan mulai tampak rusak 2015.
Kata Harwidiansyah, tidak adanya drainase menjadi faktor utama penyebab kerusakan jalan. Air hujan dan banjir dari pegunungan, tidak ditampung dan langsung meluap ke jalan raya sehingga lambat laun, aspal terkikis dan rusak parah. Saat melintasi jalan tersebut kata sekdes, pengendara kata dia juga harus ekstra hati-hati. Jika tidak, jangan heran akan jatuh terjungkal dari sepeda motor ke badan jalan.
Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (5-Habis)Wawancara Sambil Bermain Golf dengan Wapres
“Sudah banyak warga yang jadi korban kecelakaan tunggal di sini. Seingat saya sudah belasan korban,” ungkapnya dan menambahkan, kerusakan jalan desa ini sudah disampaikan ke pemerijntah Kabupaten Bima. Bahkan, keinginan itu pernah dibeberkan saat Bupati dan Wakil Bupati Bima melakukan kunjungan kerja ke desa.
Tribunlombok.com 23 Mei 2023 memberitakan, seorang pengusaha yang bergerak dalam bisnis minyak dan gas di Jakarta, H.Zakariah, rela merogok keceknya sendiri senilai Rp 900 juta demi memperbaiki jalan rusak di Desa Wadukopa Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima ini.
Kepala Desa Wadukopa Budiman membenarkan keterlibatan H,Zakariah mengerjakan jalan desanya sepanjang 1 km. Juliadin, warga Desa Wadukopa lainnya, mengatakan, bukan kali itu saja H,.Zakariah membantu di Soromandi. Sudah banyak bantuan lain yang diberikan pengusaha itu, termasuk membangun masjid terbesar di Kecamatan Soromandi.
Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (4)Satu Malam, Bobol 4 Kantor BRI Unit
Jalan beton bantuan H. Zakariah ini akan bertahan puluhan tahun. Bahkan ratusan tahun. Terbangunnya jalan beton ini ikut memperindah pemandangan di desa ini. Apalagi ditingkahi jejeran rumah yang bagaikan dipagari tanaman dan hutan desa.
“Airnya bersih dan jernih. Air yang tidak pernah saya temukan di kota,” tiba-tiba saja Prof.Musdah berkata menyampaikan pengamatannya terhadap air yang digunakannya baru barusan di Masjid Desa Wadukopa saat bergabung dengan saya yang berdiri di atas jalan beton desa.
Mudah ditebak, air yang mengalir ke masjid di sebelah kiri jalan itu bukan produk proyek perusahaan daerah air minum, layaknya di kota. Air konsumsi penduduk kota yang disuling dan disaring dari air berlumpur dan banjir. Air di Masjid Wadukopa itu dialirkan dari sumber mata air alami dari atas gunung, yang tentu saja masih sangat steril. Tidak terganggu oleh polutan, apalagi yang bersumber dari polusi kota.
Seperti juga di desa-desa lain di wilayah pegunungan di Bima, warga pun sibuk mengurus jagung mereka yang siap dipanen. Puluhan ekor sapi berkeliaran bebas di sekitar jalan desa. Kondisinya gemuk, berbeda dengan sapi yang sering mengganggu arus lalu lintas di poros Kelurahan Tamangapa Kecamatan Bangkala Kota Makassar yang pergi-pulang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Antang setiap pagi dan sore hari. Kondisi tubuh sapi-sapi tampak kerempeng. Habis, mereka hanya digembala ke TPA untuk memakan sisa-sisa buangan rumah tangga warga kota. Itu kebanyakan dalam bentuk plastik. Ironis.
Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak
Boman terus menjalankan kendaraannya. Masih ada objek lain yang akan kami tuju hari itu. Kami menyibak jalan desa yang sudah mulus. Kendaraan meluncur lancar sembari sepanjang mata memandang yang tersaji adalah ladang-ladang jagung yang siap dan sedang panen. (*)