REPUBLIKNEWS.CO.ID, BIMA — Kecamatan Soromandi terletak di bawah gunung Soromandi yang memiliki ketinggian 1.200m di atas permukaan laut. Kecamatan yang terletak di bibir barat Teluk Bima ini terdiri atas 6 desa yaitu Desa Bajo, Punti, Wadukopa, Kananta, Sai, dan Sampungu. Beragam kekayaan alam yang sangat menakjubkan di kecamatan ini tersedia seperti: madu asli, air susu kuda liar, nelayan tangkap, tumbuhan dan hewan, dan masih banyak yang lainnya. Keindahan alam yang begitu memesona. Karakteristik daerah yang berada di bibir pantai.
Pesisir pantai yang sejuk dan bersih, Gunung Soromandi yang menjulang tinggi, udara yang sangat segar di kala fajar pagi menyambut tanpa polusi sedikit pun. Terdapat juga berbagai bukti peninggalan sejarah zaman dulu seperti Wadu Pa’a di desa Kananta, Pulau Kambing di depan Pelabuhan Bima yang bagaikan selalu mengucapkan “selamat datang” kepada kapal-kapal yang bergerak zig zag memasuki “asa kota” (mulut kota) Bima. Di pulau kecil ini memiliki kuburan kuno serta tanker peninggalan Belanda, memiliki pasir yang berkandungan besi serta batu-batuan yang unik. kultur masyarakat pegunungan dan berbudaya santun
Setelah tiba di ibu kota Kecamatan Soromandi, kendaraan yang kami tumpangi bergerak lurus ke arah pantai. Ada jalan yang membelok ke kiri, itu jurusan ke Kilo dan sebagainya di Kecamatan Sanggar. Lantaran tidak menemukan spot foto, mobil membalik haluan. Di depan kantor Kecamatan Soromandi, Boman, driver kami bertemu dengan Rosmiaty, perempuan asal Kecamatan Parado yang pernah tinggal bersama Pak Kiai dan kini diangkat sebagai personel Satpol PP Kecamatan Soromandi.
Boman kemudian bertanya mengenai situs Wadu Pa’a kepada Rosmiaty.
“Dekat dari sini, nanti saya antar,” kata Rosmiaty kemudian pergi memanggil seorang pria yang ternyata suaminya untuk memboncengnya menuju situs sejarah itu.
Baca Juga : Obituari Hasyim Ado: Pernah Dibantingi Pistol
Jarak Kantor Kecamatan Soromandii dengan objek wisata sejarah Wadu Pa.a sekitar 3,7 km atau dapat dijangkau dalam waktu 12 menit berkendaraan mobil. Situs ini merupakan tempat puja bakti dua agama, Hindu dan Budha. Situs tersebut juga disebut Candi Tebing karena letaknya berada di tebing. Reliefnya sama dengan yang ditemukan di Candi Gunung Kawi, Tampaksiring, Bali.
Mobil pun meluncur di atas jalan berasapal yang di sana-sini bopeng dan berlubang. Pada sebuah belokan, kami mengambil jalan lurus. Jalan berbatu, sekitar 100m. Di ujung jalan ini terdapat tanah lapang, cukup bagi kendaraan roda empat berputar haluan. Di bagian ujung tanah lapang itu, terdapat jalan yang hanya dapat menampung satu kendaraan mobil. Sebuah mobil Avanza putih tampak mundur, begitu melihat mobil kami muncul. Tampaknya, Rosmiaty dan suaminya telah meminta agar mobil tersebut berbalik arah karena kendaraan kami akan ganti melintasi di jalan tersebut.
Boman memarkir kendaraannya di ujung jalan. Tepat di ujung jalan itu, ada sekitar 2-3m jalan yang hanya dapat dilintas kendaraan roda dua. Kalau saja pinggir kiri yang berbatasan dengan laut, dipagari dengan batu-batu besar, kemudian jalan diratakan dengan timbunan kerikil, kendaraan roda empat dapat melintas dan sampai ke areal parkir di depan taman situs Wadu Pa’a yang sangat nyaman dan adem. Di lahan yang sangat rindang dengan pohon bakau raksasa ini, terdapat satu pondok yang dapat digunakan beristirahat. Pemandangan ke timur adalah hamparan laut sebelum memasuki Teluk Bima.
Kami berjalan kaki hingga di ujung kawasan darat yang ditumbuhi bakau. Di dekat pantai terparkir banyak perahu bagang. Air sedang naik. Di seberang sana, tampak dari jauh situs Wadu Pa.a yang ditandai dengan sejumlah patok putih. Kami tidak bisa ke sana karena tidak ada perahu atau sampan kecil yang ditumpangi dan dapat kami sewa. Menurut Rosmiaty, biasanya saat air turun, bisa berjalan kaki menuju Wadu Pa’a pada waktu-waktu tertentu. Pada saat kami berkunjung jalan satu-satunya untuk sampai ke situs itu adalah dengan menyusuri hutan yang ada di pinggir pantai. Jaraknya mungkin sekitar 200-200m. Kami tidak memilih alternatif ini karena tentu melelahkan dan tidak menyiapkan sepatu khusus untuk berjalan di hutan, kecuali Prof. Musdah yang agaknya sudah siaga dengan kemungkinan berjalan pada medan yang kurang bersahabat dengan mengenakan sepatu kets.
Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (5-Habis)Wawancara Sambil Bermain Golf dengan Wapres
Menurut Ros, sepupu saya, yang bersama dengan kami, untuk menjangkau situs ini bisa juga melalui laut. Naik di Pelabuhan Bima atau Objek Wisata Lawata dengan mencarter perahu motor. Diperlukan waktu sekitar setengah jam perjalanan bisa sampai ke lokasi ini. Jarak tempuh ini lebih cepat jika dibandingkan berkendaraan roda empat mengelilingi pesisir Teluk Bima yang berbentuk huruf U. Perahu motor juga bisa merapat. Namun rute ini saya rencanakan untuk kunjungan berikutnya jika cuaca cukup bersahabat. Insha Allah.
Wadu Pa’a, dalam banyak catatan, merupakan situs sejarah tertua di Bima. Sayang, ritus ini agak terabaikan. Jalan yang sepanjang sekitar 100-200 m sebenarnya bisa diaspal guna mempermudah pengunjung mengakses ke lokasi situs ini. Lalu, jalan yang menghubungkan jalan akses masuk dengan lokasi taman situs juga harus dibenahi. Suasananya sangat indah dan teduh.
Promosi wisata via laut ke Wadu Pa’a juga perlu dikencangkan. Rute laut ini bisa berangkat dari Kolo yang lebih dekat. Tentu pengunjung harus mengendarai mobil ke objek wisata itu. Boleh juga dari Pelabuhan Bima atau Pantai Lawata. Dengan tersedianya ‘bisnis’ wisata sejarah ini akan memungkinkan popularitas kunjungan ke objek situs sejarah itu akan semakin semarak. Promosinya tidak terlalu sulit. Media daring akan membantu menyosialisasikan objek dan cara menjangkaunya.
Menurut Kompas.com dalam pemberitaannya 12 Juni 2022, candi tebing ini terkesan tidak terawat. Ukiran kuno yang menghiasi tebing-tebing pun sudah mulai terkikis. Begitu juga fasilitas pendukung di kawasan wisata ini banyak yang rusak pada banyak tempat. Kondisinya terbengkalai. Nyaris tak ada wisatawan yang mau menyinggahi tempat ini sejak beberapa tahun lalu. Situs ini sempat digadang-gadang menjadi destinasi wisata sejarah kebanggaan di NTB. Namun, kondisi Situs Wadu Pa’a belum sesuai dengan ekspektasi sejak awal ditemukan.
Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (4)Satu Malam, Bobol 4 Kantor BRI Unit
Padahal, situs tersebut dianggap memiliki potensi peninggalan sejarah yang harus dilestarikan. Situs Wadu Pa’a terletak di Desa Kananta, Kecamatan Soromandi ini, berjarak sekitar 43 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Bima. Objek itu telah ditetapkan menjadi cagar budaya. Kawasan ini merupakan bagian dari sisi barat laut Teluk Bima, yang menghadap ke lautan lepas.
Pemandangan di Teluk Sowa berhias tebing yang berbatasan langsung dengan ombak yang mengalun tenang. Keberadaan situs ini juga terlindungi oleh tiupan angin dan gelombang laut.
Saat Kompas.com mengunjungi Wadu Pa’a12 Juni 2022, situs itu tampak sepi. Sebenarnya, situs ini relatif mudah dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda dua. Hanya saja, akses jalan masuk ke situs ini tidak terawat dengan baik. Akses jalan itu belum diaspal dan tak layak dilalui sehingga licin dan berlumpur setelah diguyur hujan. Jalan rusak itu hampir sepanjang 200 meter. Jalan menuju candi ini berupa turunan yang lumayan curam dan hanya bisa dilewati kendaraan roda dua.
Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak
Keberadaan Candi Wadu Pa’a ini cukup strategis, karena lokasinya tidak jauh dari jalan utama lintas Soromandi. Hanya sekitar satu jam dari pusat Kota Bima dan juga beberapa menit dari Desa Kananta. Setelah menghadapi jalan yang buruk, di kawasan candi tebing ini terdapat situs-situs sejarah yang menarik untuk diungkap. Namun, kesan tidak terawat alias terbengkalai begitu kental ketika memasuki kawasan tersebut.
Masuk lebih dalam, di sepanjang jalan setapak, tepatnya di tepian pantai teluk kecil itu ditemukan beberapa bagian tebing yang telah dihiasi relief klasik. Warga Bima meyakini bahwa posisi candi tersebut pernah dijadikan tempat pemujaan atau pertapaan oleh para leluhur, jauh sebelum Islam memasuki Bima. Warga setempat menjulukinya Wadu Pa’a yang bermakna batu berpahat.
Dalam bahasa Suku Mbojo, batu pahat terbagi menjadi dua kata, yakni ‘wadu’ dan ‘pa’a’. ‘Wadu’ artinya batu dan ‘pa’a’ artinya pahat. Jadi, Wadu Pa’a adalah batu yang dipahat. Ukiran-ukiran pada Wadu Pa’a mengandung nilai historis yang sangat tinggi karena media ukirannya bukan batu biasa, melainkan, tebing-tebing batu yang berbentuk stupa.
Dalam area situs tersebut, terdapat beberapa bagian tebing memiliki berbagai arca, prasasti, persis seperti relief yang ada di Candi Borobudur. Biasanya, menggambarkan kisah-kisah mengenai agama Hindu dan Buddha. Sebagian warga menduga bahwa bagian tebing yang telah dihiasi relief klasik itu pernah dijadikan sebagai tempat ibadah atau pertapaan oleh para leluhur di kala itu.
Relief dan arca yang terukir di tebing ini sebagian masih dapat dikenali. Ditebing itu pula terdapat ukiran figur Ganesha, simbol pengetahuan dan kecerdasan. Ada juga figur Siwa dalam posisi berdiri, seperti pada candi-candi yang ada di Jawa. Namun, sebagian mahakarya di masa lampau ini sudah tidak utuh lagi. Sebagian telah rusak atau rontok kepalanya karena terkikis usia. Sementara di pojok selatan candi itu dijumpai sebuah ceruk atau gua buatan, yang di dalamnya terdapat beberapa dudukan yang dipahat dalam tebing. Di ceruk itu pula terdapat untaian kata berbahasa Sansekerta yang diukir indah. Di situs ini juga ditemukan coretan-coretan dengan cat minyak, menjadi bukti bahwa situs ini memang telah banyak dikunjungi oleh para pendatang terutama dari Negara Eropa.
Sementara di dinding tebing lain terukir semacam bangunan rumah dengan atap bersusun banyak, persis seperti lingga yoni atau lambang Siwa. Lingga dan yoni itu berhadapan dengan satu sosok lelaki yang duduk bersila di sudut tebing. Sayangnya, ukiran wajah lelaki itu sudah tak lagi dapat dikenali. Menurut seorang budayawan Bima, Alan Malingi (alm.), candi tebing ini merupakan bagian dari tempat suci berabad silam. Bentuk ukiran pun mengisyaratkan bahwa candi tebing Wadu Pa’a adalah peninggalan agama Buddha dan Hindu pada masa itu.
Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak
“Wadu Pa’a ini terutama untuk pemujaan yang mengandung unsur Buddha dan Hindu. Jika dilihat dari gaya pahatannya, mungkin dibuat pada masa Majapahit atau sebelumnya,” kata Alan Malingi.
Karena kondisi situs yang sudah tidak terawat, kini aksara yang terpahat dalam situs sudah terkikis yang akhirnya sulit terbaca. Sehingga, pendapat mengenai berbagai ukiran mengandung unsur Buddha dan Hindu itu perlu ditinjau ulang demi memastikan kebenarannya. Tidak banyak catatan sejarah mengenai siapa yang membangun tempat pemujaan itu. Namun, warga Bima mempunyai keyakinan bahwa pahatan-pahatan ini merupakan karya Sang Bima, seorang musafir dari bangsawan Jawa.
Konon, pada masa lampau, tepatnya abad XI, pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, candi tebing ini dipahat dua orang bersaudara yakni Indra Zamrud dan Indra Komala yang merupakan anak Sang Bima, bangsawan dari Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur. Dua anak itu merupakan buah dari perkawinan dengan salah satu putri seorang ncuhi atau kepala suku. Saat itu, Sang Bima hendak meninggalkan tanah Bima, dia didatangi oleh para ncuhi untuk diminta kesediaan menjadi pemimpin tanah Bima. Pada saat itu, Sang Bima sedang memahat tebing kaki bukit Lembo, Dusun Sowa, Desa Kananta, yang akhirnya tenar dengan sebutan Wadu Pa’a.
Peninggalan sejarah ini memiliki arti penting sebagai bukti peristiwa bersejarah yang terjadi di masa lalu, dan sebagai sumber belajar untuk mengenal Indonesia dari masa ke masa.
Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak
Tidak dikelola
Sebelumnya, Candi Wadu Pa’a telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Situs itu di bawah penanganan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Denpasar di Bali. Sementara pemeliharaannya menjadi kewenangan Pemda Bima. Meski telah dipagari oleh pemerintah, akhir-akhir ini wisatawan seakan tak tertarik mengunjungi Candi Wadu Pa’a ini. Beberapa sudut candi terlihat dipelihara ala kadarnya. Sementara di sisi luar candi banyak bangunan dalam kondisi rusak. Seperti pos penjagaan dan pengawasan yang hingga saat ini masih dibiarkan terbengkalai.
Sudah bertahun-tahun, pos penjagaan yang dibangun lengkap dengan fasilitas toilet itu dibiarkan terlantar hingga rusak parah. Puing-puing bangunan itu, kini banyak yang berserakan. Yang masih tersisa pada bangun itu hanya dinding tembok setinggi satu meter dengan kondisi yang terlihat kusam. Tidak hanya itu, kerusakan juga terlihat pada tiang pagar yang melingkari candi tebing. Tiang-tiangnya banyak yang retak dan terlihat sudah keropos, bahkan nyaris ambruk.
Di lokasi objek wisata ini pun kurang fasilitas yang memadai untuk para pengunjung. Hanya ada tiga unit gazebo yang tersedia, namun dua di antaranya sudah rusak. Kondisinya sudah keropos dan tidak terawat. Mantan Kepala Desa Kananta, Aidin mengatakan, situs Wadu Pa’a perlu pembenahan karena banyak fasilitas wisata yang terbengkalai dan juga sampah yang bertebaran, sehingga mengurangi kenyamanan pengunjung.
“Ini aset daerah yang seharusnya segera dibenahi pengelola, karena dikhawatirkan dapat mengurangi minat pengunjung lokal dan luar daerah. Kalau fasilitas penunjangnya tersedia, seperti toilet yang memadai, tempat sampah dan akses jalan yang mendukung, otomatis situs ini akan berkembang. Pendapatan masyarakat di sini juga ikut terbantu,” kata Aidin saat ditemui Kompas.com..
Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak
Dia mengatakan, selama ini nyaris tak ada aktivitas di kawasan wisata andalan Soromandi itu. Sepinya objek wisata ini juga dipengaruhi oleh kurangnya fasilitas dan buruknya infrastruktur jalan.
“Wadu Pa’a ini sebenarnnya ramai pengunjung, itu dulu. Tapi sekarang, semakin hari semakin sepi,” jelasnya.
Menurutnya, akses utama pengunjung dari jalan utama lintas Soromandi hingga memasuki tempat wisata sejarah yang berjarak sekitar 200 meter itu sangat tidak layak dilewati kendaraan. Bahkan, jalan itu membahayakan pengunjung, terutama saat musim hujan. Apalagi, kondisi jalan terbilang sangat ekstrem karena berupa jurang. Selain itu ada beberapa bagian terdapat badan jalan menurun.
Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak
“Sekitar 200 meter jalan menuju situs itu perlu diaspal. Jalannya terlalu curam dan penuh material krikil. Bahkan, beberapa titik dekat dengan jurang, sehingga saat hujan sangat berisiko bagi para pengunjung atau pengemudi,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Aidin, belum ada pemungutan retribusi bagi pengunjung. Pengunjung dapat bebas masuk ke lokasi itu.
“Mereka (pengunjung) hanya datang gratis, pulang bawa cerita. Sementara pemasukan untuk daerah dan masyarakat, nihil,” pungkasnya.
Kepala Bagian (Kabag) Protokol Komunikasi Pimpinan (Prokopim) Sekretariat Daerah Kabupaten Bima, Suryadin kepada Kompas.com, enggan berkomentar banyak saat soal keberadaan situs peninggalan sejarah yang terbengkalai tersebut. Menurut dia, situs itu berada di bawah kewenangan BPCB Denpasar.
Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak
“Itu cagar budaya di bawah kewenangan Balai Cagar Budaya Denpasar. Untuk pemeliharaan kita cek dulu bagaimana jalur koordinasi dengan Dinas Dikbudpora,” kata Suryadin melalui pesan singkat sebagaimana ditulis kompas.com.
Kami kurang puas tidak sempat melihat dari dekat situs Wadu Pa’a karena kondisinya sulit menjangkaunya. Kami hanya sempat memandangnya dari jauh, sebelum balik kanan melangkahkan kaki di bawah pohon bakau menuju kendaraan untuk balik ke Bima. Saya pulas sepanjang jalan setelah meninggalkan Kantor Kecamatan Soromandi karena habis berjalan kaki beberapa ratus meter di kawasan taman situs Wadu Pa’a.
Setelah menikmati santapan ikan bakar bandeng di rumah makan di depan Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Palibelo Bima, kami meluncur kembali ke Kota Bima. Kami mampir membeli kue buatan warga Arab penjual di Kampung Melayu yang enak. Dalam perjalanan kembali ke Santi, rumah Prof.Ahmad Thib Raya/Prof.Musdah Mulia, saya sempat mampir membeli beberapa buah sirzak (garoso, bahasa Bima) yang memang lagi ‘booming’ di Bima saat saya mudik.
Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak
Mumpung masih ada waktu, dalam perjalanan pulang ke Kanca, desa kelahiran, saya mampir di Desa Ncera, tempat saya menjalani masa kecil tahun 1953-1956. Di desa ini, nama saya hanya dikenal sebagai Muhammad. Seluruh warga desa menyapa saya dengan nama pertama itu. Ayah pernah pernah betugas sebagai guru pada tahun 1951-1956 di desa yang sangat berkesan ini. (M. Dahlan Abubakar, bersambung*)