0%
logo header
Selasa, 01 November 2022 23:51

HUT ke-107 PSM: Si Cilik Nabiel dan Legenda PSM

Asril Astian
Editor : Asril Astian
HUT ke-107 PSM: Si Cilik Nabiel dan Legenda PSM

Oleh M. Dahlan Abubakar (Pemred Republiknews.co.id)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Saya dan seorang teman pejabat di kampus yang disertai putrinya, sengaja menuju Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar di Maros, jauh lebih awal.. Kami meninggalkan kampus pukul 15.00 Wita, meskipun pesawat yang akan menerbangkan menuju Bali baru terbang pukul 19.35 pada 23 September 2016 itu. Jadi, empat jam kami harus menunggu dan nongkrong di bandara. Tetapi itu lebih baik, daripada terjebak macet di persimpangan lima bandara yang tidak jelas ‘aturan’-nya.

Ketika hendak menunaikan salat asar, saya menitip dua tas kecil yang dibawa di outlet buku. Tempat karya-karya saya biasa dititip agar dapat dibaca dan dimiliki publik. Saat membalik badan setelah meletakkan dua tas di samping kursi tempat duduk penjaga toko buku, mata  ‘’tersandung’’ pada sebuah sampul buku karya saya yang monumental terpajang menghadap ke dalam.

Baca Juga : Mahasiswa Bima Gagas Sosialisasi Lulusan SMA di KM Tilongkabila

‘’Dik, pasang buku ini menghadap ke tempat kursi calon penumpang, biar terbaca. Sekarang buku ini sudah langka tersedia. Seorang penggemar dari Yogyakarta pernah meminta saya mengirimkan buku ini. Saya katakan, nanti saya cari dulu, mungkin stok di bandara masih ada,’’ saya membual ketika membalas pesannya melalui Whattsapp (WA).

Pemesan itu akhirnya mentransfer Rp 225.000, yakni Rp 200.000 harga buku dan ongkos kirim Rp 25.000. Dia gembira sekali menerima buku itu dan bertanya mengapa belum dicetak ulang.

‘’Masih dicari sponsornya,’’ jawab saya pendek melalui WA.
Saya mengambil buku itu dan memegang kemudian meminta penjaga toko buku memotret. Sebab, dia katakan, ini satu-satunya yang tersisa di outlet-nya. Di outlet yang satunya lagi di gate 6, tersisa tiga. Usai diabadikan dengan karya itu, saya duduk sembari membaca buku tentang Bernny Moerdani, yang berjudul ‘’Yang Belum Terungkap’’ yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG( bersama TEMPO. Kisah yang menarik tentang sosok intel yang sangat berkuasa di era Soeharto memimpin negeri ini selama tiga dasawarsa lebih.

Baca Juga : Musdah Mulia Diskusikan Buku Kisah Perjalanan ke 51 Negara

Tiba-tiba duduk seorang ibu cantik di sebelah kiri saya. Dua orang anaknya, seorang laki-laki dan perempuan, berdiri di depan outlet buku. Perhaian saya pun berlalu. Ketika saya angkat muka lagi, anak laki-lakinya terlihat memegang buku yang kebetulan baru saja saya pegang. Ketika dia balik saya menyapa.

‘’Adik..adik,’’ kata saya kemudian dia berbalik ke arah suara yang memanggilnya.
‘’Adik membeli buku ini?,’’ tanya saya sembari berjongkok.
‘’Iya, Om,’’ jawabnya.
’Kebetulan buku ini Om yang tulis. Boleh saya tandatangani di bukunya,’’ kata saya kemudian anak itu mengulurkan buku yang dipegangnya. Saya menyobek plastik tipis yang membungkus buku yang diluncurkan di Wisma Menpora bertepatan dengan acara buka puasa Kerukunan Keluarga Silawesi Selatan (KKSS) Jakarta, 9 Agustus 2011 tersebut.
‘’Siapa namanya, Nak,’’ saya bertanya begitu ballpoin hendak menggores kertas di sampul bagian dalam buku.
‘’Nabil,’’ jawabnya pendek, ikut pula adiknya menyebut nama kakaknya.
‘’Nabiel, Pak,’’ tiba-tiba terdengar suara ibunya mengucapkan setengah mengeja nama putra tersayangnya.
Saya pun menorehkan tulisan ‘’Untuk Ananda Nabiel, dari Om Penulis…dstnya,’’ toreh saya, disertai nomor telepon seluler (ponsel).
‘’Nanti kalau Nabiel mau tanya isi buku, ini ada nomor telepon Om ya,’’ saya menambahkan yang disahutnya dengan anggukan.
Begitu saya berdiri, terdengar ibunya meminta.
‘’Boleh saya memotret Bapak dengan Nabiel?,’’ pinta ibunya setelah mengetahui putranya sedang berhadapan dengan penulis buku di tangan anaknya.
‘’Oh..iye, Bu,’’ kata saya kemudian Ibunya mengabadikan kami berdua menggunakan androidnya.

Begitu hendak meninggalkan tempat duduk saya, ketika ditanya, Nabiel menjelaskan akan terbang ke Bali, sama dengan saya. Namun saya tidak melihat di pesawat yang saya tumpangi. Mungkin dengan penerbangan pesawat perusahaan lain, yang lebih dulu mengudara pada pukul 18.00 lewat sekian menit.
Nabiel mungkin sudah terlalu sering mendengar nama ‘’Ramang’’, sehingga ketika bertemu dengan buku yang berjudul ‘’Ramang Macan Bola’’ dia langsung saja meminta ibunya menebus buku yang harganya Rp 200.000 di outlet tadi. Saya sangat terharu dengan si Cilik Nabiel, seorang anak yang mungkin baru duduk di kelas-kelas awal sekolah dasar sudah mau menghargai sosok seorang pesepakbola legendaris Indonesia yang ketika 25 tahun kematiannya pernah ditulis di laman depan FIFA (www.FIFA.com) sebagai sosok yang menginspirasi sepakbola Indonesia. Saya kira, belum ada pesepakbola Indonesia yang memperoleh apresiasi setinggi itu dari badan sepakbola dunia sekelas FIFA.

Baca Juga : Fun Run dan Pencegahan Penyakit Degeneratif

PSM dan Legendanya

Mengenang Ramang, jelas tidak dapat kita lupakan nama besar Persatuan Sepak Bola Makassar (PSM). Dari kesebelasan inilah dia menjadi pemain legendaris, tidak saja bagi PSM sendiri, tetapi juga kesebelasan Indonesia. Nama Ramang telah menjulangkan prestasi Indonesia saat secara sangat luar biasa menahan imbang 0-0 kesebelasan Uni Soviet –yang kemudian keluar sebagai juara – pada pertandingan pertama Olimpiade Melbourne Australia 1956. Meskipun pada pertandingan ulang Indonesia harus takluk 0-4 atas kesebelasan “Beruang Merah: itu, namun penampilan Indonesia kala itu telah membelalakkan mata dunia akan prestasi tim nasional Indonesia.

Hari ini, 2 November 2022 (sejak 1915) ini selalu diingat sebagai hari berdirinya “Makassaarsche Voetbal Bond” (MVB) yang dua puluh tahun kemudian (1942) bereinkarnasi menjadi PSM yang kita kenal hingga sekarang. MVB berdiri saat Hindia Belanda menjadikan Makassar sebagai pusat pemerintahan di Indonesia Timur. Saat itu, Makassar terkenal dengan nama bandar, pusat pelabuhan Indonesia. Beragam kapal asing menjadikan Bandar Makassar sebagai pusat pelayaran bagi mereka, sementara untuk kapal-kapal domestik menjadikan Bandar Makassar sebagai tempat persinggahan untuk menjual rempah-rempah dan hasil bumi mereka ke kapal-kapal asing.

Baca Juga : Mattulada, Generasi Emas Unhas

Kegiatan yang bertaraf internasional itu pun ikut memengaruhi masyarakat Makassar mengenal olahraga sepak bola yang sangat digandrungi di seluruh dunia. Apalagi, Belanda termasuk salah satu negara maniak sepak bola MVB kala itu terdiri atas gabungan pemain sepak bola dari jajaran elite Belanda dan pribumi Makassar Indonesia, juga dari kalangan Tionghoa. Dua pemain poribumi MVB, Sagi dan Sangkala, sangat terkenal dan menjadi pembicaraan hangat hingga di luar negeri. Beberapa kali MVB mendapatkan undangan bermain di luar negeri untuk pertandingan persahabatan.

Pada tahun 1922, sepak bola di Makassar ternyata berkembang cukup pesat. Ada 4 divisi di tubuh MVB waktu itu. Pada sebuah klub sepak bola kala itu, umumnya memiliki kesebelasan lebih dari satu divisi. Pada bulan Juni 1922, MVB mengadakan sidang memilih pengurus baru yang dilakukan secara langsung. Dalam susunan kepengurusan yang baru tersebut, komposisi yang terbentuk cukup mewakili masyarakat saat itu, Eropa, pribumi, dan Tionghoa.

Beberapa klub di berbagai wilayah Indonesia mulai terbentuk pada tahun 1926-1940 seperti di Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Jawa. Pada tahun itu pula masa merupakan keemasan klub MVB. Sangkala yang merupakan pemain andal MVB tercatat sebagai promoter pertama klub binaan Hindia Belanda ini.

Baca Juga : Mattulada, Generasi Emas Unhas

Sejumlah klub di Indonesia mengundang klub MVB untuk pertandingan persahabatan dan resmi. Saat itu kemenangan demi kemenangan diraih oleh Sangkala dan kawan-kawan. Klub ini pun menjadi kesebelasan yang disegani sepanjang pemerintahan Hindia Belanda berkuasa di Indonesia.

Pada tahun 1942, saat Jepang mulai masuk ke Indonesia hingga ke Makassar, nyaris tidak ada aktivitas sepak bola. Semua hal yang ‘berbau’ Belanda dilenyapkan oleh Jepang. Peraturan dari Jepang inilah yang membuat putra-putra Makassar langsung mengubah nama Makassar Voetball Bond (MVB) menjadi Persatuan Sepakbola Makassar atau yang lebih dikenal dengan PSM Makassar.

Meskipun berada di bawah tekanan Jepang, putra-putra Makassar terus menjalankan aktivitas berlatih sepak bola dan membesarkan nama PSM Makassar. Itu terjadi setelah Jepang angkat kaki dari Indonesia setelah takluk atas sekutu pascapengeboman oleh Amerika di Hiroshima 6 Agustus 1945 dan menewaskan 90.000-146.000 jiwa dan Nagasaki 9 Agustus 1945 yang menewaskan 36.000-80.000 jiwa. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang pun menyerah tanpa syarat dan Indonesia pun merdeka dua hari kemudian, 17 Agustus 1945.

Baca Juga : Mattulada, Generasi Emas Unhas

Ketika Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) berdiri tahun 1930 dalam usianya ke-70 tahun (2000), sama sekali tidak menyebut Makassaarsche Voetbal Bond (MVB) sebagai salah satu klub tertua di Indonesia. Itu wajar-wajar saja. Sebab, PSSI lahir dan terbentuk justru dipicu oleh Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang mempertemukan para tokoh pemuda dari Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, Pemuda Indonesia, Sekar Rukun, dan lain-lainnya. Ketika PSSI berdiri, MVB yang kemudian berubah menjadi Persatuan Sepak Bola Makassar (PSM) sudah lebih dulu lahir 15 tahun sebelumnya.

Oleh sebab itu, tidak salah jika disebutkan PSM merupakan kesebelasan sepak bola tertua di Indonesia. Tidak jelas siapa yang menginisiasi hingga terbentuk Makassaarsche Voetbal Bond (MVB) 2 November 1915 itu. Lahirnya PSM pada tahun ini pun ada yang menyebut tidak pas benar. Salah seorang teman yang bekerja di media online Jakarta menyebut, seorang berkebangsaan Belanda menyebutkan dan memiliki data, PSM sebenarnya lahir tahun 1916. Tetapi angka itu tidak dikenal luas. Jika pun benar, tetap saja MVB yang kemudian dikenal sebagai PSM, hingga kini masih merupakan klub perserikatan tertua di republik ini. Bravo PSM. (*)

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646