Oleh: Rendika Agustianto (Guru Pondok Pesantren Showatul Is’ad Ma’rang Pangkep)
REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Sambil membawa kursi roda, kulaporkan keadaan kondisi jamaah haji Indonesia. “Haram 1/2/3 – Haram 4, melaporkan bahwa situasi di area bawah jembatan menuju ke pintu Marwah dan terminal Bab Ali saat ini padat lancar. Banyak dari butir-butir merah putih bersiap-siap memasuki Masjidil Haram dengan tertib dan teratur”. gumamku dalam bravo yang kupegang.
Tak salah jika orang Maroko saja kagum dan menaruh hormat kepada orang Indonesia. Di manan pun saya berjumpa dengan mereka ketika disebutkan berasal dari Indonesia, mereka menimpali kalau orang indonesia itu baik-baik, sopan santun, ramah dan selalu tertib.
Baca Juga : FIKP Unhas Kembangkan Teknik Budidaya Nila Pakai Terpal di PPM Shohid Pangkep
Kesan itu mereka dapat dari jamaah Maroko yang pernah berhaji maupun umrah, ini berbeda dengan jamaah haji dari negara lainnya yang seringkali sikut-sikutan ketika beribadah. Saling dorong-dorongan ketika tawaf. Cerita ini menjadi turun temurun, entah sudah berapa kali saya dengar cerita ini di berbagai kesempatan dalam perbincangan dengan mereka, baik di transportasi umum maupun ketika di perkuliahan. Bahkan tak berlebihan ketika mereka menyebut bangsa Indonesia itu “Ahsanul khalqi fi Alam” (sebaik-baik manusia di bumi).
Hal ini kubuktikan ketika saya bertemu dengan jamaah haji Indonesia, mereka bertata krama sopan selama di Masjidil Haram, tertib dan teratur dalam beribadah dan sangat bersemangat dalam memperbanyak ibadah. Tak jarang saya melihat mereka iktikaf di masjid sembari membaca Alquran dan berzikir atau bahkan melakukan umrah sunah berkali-kali dengan tertib dan khusu’.
Tak lama kemudian sampailah saya di pintu Babussalam. Saya melihat dua orang nenek-nenek itu. Yang satunya duduk di lantai selonjoran sambil mengelus kaki. Seorang lainnya lagi berdiri menunggu datangnya kursi roda yang saya bawa.
Baca Juga : Memoar Haji Tahun 2017: (3) Dua Nenek Beri Pelajaran Berharga
Saya mendorong nenek itu dengan kursi roda menuju Posko Seksus Makkah. Melewati hilir mudik jamaah haji di pelataran Masjidil Haram yang padatnya minta ampun.
Saya perkenalkan nama kepada mereka dengan singkat hingga mengetahui nenek yang tak bisa berjalan itu bernama Yasminah, dan nenek yang mendampinginya bernama Komiroh.
Akhirnya tibalah kami di Posko di dekat terminal Syieb Amir yang terlihat ramai lancar. Banyak dari mereka menuju Masjidil Haram untuk salat Isya berjamaah. Begitu tertib dan lancar, terlukis di wajah mereka pancaran kebahagian.
Baca Juga : Memoar Musim Haji 2017: (1) Sehelai Kain Putih Penuh Arti
“Nenek dari mana kok cuma berdua?” saya bertanya kepada salah seorang dari mereka sambil menyodorkan dua buah teh botol sosro dan roti.
“Kami dari Kabupaten Padang, Nak. Tadi kami terpisah dengan rombongan saat tawaf. “Nenek ini saudariku, dia tidak kuat berjalan jadi nenek yang menuntunnya pelan-pelan saat tawaf dan sai” jawab nenek Komiroh.
“Nenek tinggal di hotel mana?,” usut saya lagi.
Baca Juga : Memoar Musim Haji 2017: (1) Sehelai Kain Putih Penuh Arti
“Aduhh nenek lupa nama hotelnya, Nak. Tadi kami berangkat bersama-sama satu rombongan. Nenek tidak tahu nama hotel nenek,” sahut sang Nenek.
“Oh begitu, saya lihat identitas Nenek ya. Nanti saya antar sampai ke hotel” jawab saya lirih.
Saat itu saya memeriksa isi tas punggung warna biru bertuliskan Bank BRI, sembari mencari kertas identitas dan nomor bus.
Baca Juga : Memoar Musim Haji 2017: (1) Sehelai Kain Putih Penuh Arti
“Ini apa Nek. Kok ada kain putih ini kain ihram atau kain kafan Nek?,” iseng saya bertanya keheranan yang sebelumnya menduga bahwa itu adalah sehelai kain kafan.
“Iya nak, ini kain kafan yang kami bawa dari Padang. Kami sengaja mempersiapkan sejak dari rumah untuk di tanah haram ini, kain kafan ini sebagai bekal kami Nak, biar kalau kami meninggal di tempat ini, petugas tidak perlu susah payah mencarikan kain kafan. Bairlah mereka memakaikan kain kafan yang kami bawa. Kami ikhlas jika ajal menjemput kami di tanah haram ini. Kain kafan ini sebagai pengingat kami bahwa ajal manusia tidak ada yang tahu kapan datangnya. Kami bawa kain kafan ini setiap hari dan di mana pun kami berada. Cita-cita kami meninggal di tanah haram ini, Nak” jawab Nenek Komiroh menjelaskan dengan bahasa Indonesia berlogat Sumatera. (Bersambung)