0%
logo header
Kamis, 23 Juni 2022 17:18

Musisi Kalimantan Selatan Rayakan World Musik Day, Dharma Coffe Suguhkan Lima Band

Asril Astian
Editor : Asril Astian
Novyandi Saputra (Akaracita dan NSA Project Movement), memaparkan perkembangan musik bersama Sumasno Hadi dan Feriza Manuwu, di Dharma Coffe Banjarmasin, Rabu (22/6/2022). (Foto: Rahim Arza/Republiknews.co.id)
Novyandi Saputra (Akaracita dan NSA Project Movement), memaparkan perkembangan musik bersama Sumasno Hadi dan Feriza Manuwu, di Dharma Coffe Banjarmasin, Rabu (22/6/2022). (Foto: Rahim Arza/Republiknews.co.id)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, BANJARMASIN — Dharma Coffe menghadirkan musisi Kalimantan Selatan dalam rangka merayakan World Music Day di Komplek DPR, Jalan Pramuka, Banjarmasin. Sejumlah Band dan Sanggar-sanggar asal Perguruan Tinggi itu turut menampilkan beberapa karyanya sendiri, di antaranya adalah Si Madhava, A.R.K, Bawah Tangga (BWHTG), Sanggar Bahana dan Sanggar Musik Antasari.

Dalam perayaan itu, Dharma Coffe menghelat forum Sharing Session yang dipantik oleh Sumasno Hadi (Dosen Sendratasik ULM), Feriza Manuwu (Owner Hollowlab Studio) dan Novyandi Saputra (Akaracita dan NSA Project Movement).

Novyandi Saputra, penulis buku Bunyi Banjar itu berpendapat bahwa perayaan musik sedunia ini bicara kesetaraan. Dalam kancah dunia, menurutnya tidak ada lagi dikotomi dalam perbandingan ihwal musik modern maupun tradisional.

Baca Juga : PDIP Kalsel Gelar Upacara, Berry Nahdian Beri Pesan Ini di Hari Lahir Pancasila

“Sebab, semua jenis musik itu mendapat panggung yang sama dan ruangnya sendiri. Musik itu sebagian orang adalah hiburan, misalnya orang Barat mendengarkan Gamelan itu luar biasa,” ucap Novyandi kepada Republiknews.co.id, Rabu (22/6/2022) malam.

Novyandi menjelaskan, kesetaraan dalam aspek musik itu adalah karya yang diwujudkan dalam panggung, bukan soal baik dan buruknya. Tetapi, kata dia, bagaimana konsistem dan dibawakan seorang musisi ke dalam kehidupan masyarakat yang kemudian diterima, lalu disepakati.

“Musik itu tidak ada perbedaan teritorial jelas, baik lokal, nasional maupun luar negeri sana. Semua itu sama dalam karya, sebab musik adalah ciptaan musisinya. Lalu bagaimana melihat hasilnya,” tutur Dosen Sendratasik ULM itu.

Baca Juga : Siti Setiyani, Cerita Seorang Kader TBC Komunitas

Bagi Novyandi, istilah-istilah kolonialisme itu adanya perbedaan antara musisi pop, tradisional dan sebagainya itu dilupakan, maka mesti menjadi satu keragaman yang sama. Konteksnya, kata dia, lebih melihat ke karya atau konsep yang ditawarkan. “Biarkan karya itu berbicara ke publik, dan ada pendengarnya tersendiri di luar sana.”

Sementara pengamat musik, Sumasno Hadi melihat sejarah dalam perkembangan musik terdahulu menjadi alat penindas. Analisisnya sampai sekarang, kata dia, ibarat dengan bahasa sederhananya adalah udara.

“Karena, musik itu bisa masuk ke mana saja. Pada mulanya, musik itu spritual. Dalam agama kuno, musik menjadi ritual mereka. Kemudian, modernisasi menjadikan musik lebih sempit lagi ke arah industri,” jelasnya.

Baca Juga : Porseni NU 2023, Kontingen Kalsel Masuk Peringkat 13 Besar

Menurut Sumasno, musik itu bebas dapat seseorang memakainya dalam instrumen apapun. Dalam saintifik, kata dia, musik menjadi terapi kesehatan. “Bisa menjadi senjata biologis juga,” ujarnya.

Jadi, Sumasno berpandangan bahwa bicara hal-hal besar dalam dunia permusikkan itu pasti ada jarak. Kebanyakan, kata penulis buku Renungan Perihal Musik itu memandang, sebagian orang mengotakkan ihwal genre, cipta dan sebagainya, demikian terasa sangat jauh konteksnya.

“Misalnya di Prancis pada tahun 1982, mereka menebarkan ihwal kesetaraan. Kita baru mulai nampaknya,” ungkap Sumasno.

Baca Juga : Sekelumit Cerita Aripin, Pendiri Rumah Kreatif dan Pintar Bina Kelompok Marginal di Banjarmasin

Hal itu, kata Sumasno, berhubungan sekali dengan bagaimana pemerintah memperlakukan musik. Terlebih, kata dia, musik dalam konteks hukum yang menyoroti pekerja seninya sebagai profesi. “Setara dengan guru, dokter dan lainnya. Itu yang sedang kita bangun, kalau sekarang nampaknya pemerintah mulai melirik ke situ.”

Kata Sumasno, jarak (gap) yang terjadi menurut pandangan Paulo Coelho dalam dunia permusikan layaknya paparan di atas. Sehingga, kata dia, acara-acara diskusi kecil seperti ini sangat membantu dalam perkembangan musik Indonesia.

Adapun pendapat Bassis Muram, Feriza Manuwu menyebut berkembangnya dunia permusikkan di Kalimantan Selatan, khusus Banjarmasin ini harus dilihat dari event mingguannya. Menurut dia, paling mentok hanya Sabtu-Minggu saja dan hari-hari lainnya kosong tanpa diisi event musik.

Baca Juga : Sekelumit Cerita Aripin, Pendiri Rumah Kreatif dan Pintar Bina Kelompok Marginal di Banjarmasin

“Seharusnya, Senin-Minggu diisi event musik dengan pelbagai band di luar sana mengisi ruang-ruang publik,” tegasnya.

Saat itu, Feriza menceritakan kedatangannya ke Banua sejak 2019 lalu, kemudian dirinya mencoba membangun Hollowlab Studio. Namun tidak sesuai ekspetasinya, dia melihat beberapa tempat sudah menutup akses untuk membuat panggung musik. Event-event tidak seramai tahun 2008 lalu.

“Ibaratnya, rugi besar aku tuh. Kada (tidak) kebalik modal,” ungkap Feriza sembari tersenyum.

Baca Juga : Sekelumit Cerita Aripin, Pendiri Rumah Kreatif dan Pintar Bina Kelompok Marginal di Banjarmasin

Feriza mengaku, Band Muram sempat dilirik label musik asal Jakarta dan disuruh memilih berkarya di mana. Lalu, kata dia, dikontrak ingin menjadi artist sekali pun pihaknya pernah ditawari.

“Saat itu Muram memilih untuk berkarya di Banua saja, kenapa? Muasal hadirnya Muram, karena melihat situasi dan kondisi Kalimantan Selatan saat ini. Atas politik dan lingkungannya,” pungkasnya.

Penulis : Rahim Arza
Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646