REPUBLIKNEWS.CO.ID, BANJARMASIN — Novelis asal Banjarbaru, Sandi Firly mengisi materi cerpen pada acara Festival Literasi di Wetland Square, Jl Ahmad Yani Kilometer 4, Banjarmasin. Usai hujan, dia baru saja memulai pemaparan tentang kisi-kisi menulis karya fiksi bersama sejumlah peserta kelas cerpen tersebut.
“Satu jam lebih mengisi kelas cerpen, dan lumayanlah andai tidak hujan tadi maka banyak dialog-dialog. Walau terasa singkat, semua materi telah tersampaikan,” ucap Sandi Firly kepada republiknews.co.id, pada Senin (1/8/2022).
Di dalam materi itu, Sandi menyebut seorang penulis boleh berangan-angan tetapi setelahnya itu bagaimana mewujudkan tulisan. Menurutnya, penting menentukan jadwal menulis, supaya disiplin dalam mengatur diri untuk terus mengasah dan mempelajari karya sastra. “Karena, menulis tidak ada instan. Tentu harus disiplin dulu, kemudian terus membaca karya sastra lainnya,” ujarnya.
Baca Juga : Peringati HUT ke-18, Komisi Yudisial Wilayah Kalsel Hadirkan 4 Tokoh
Kemudian, kata Sandi, penulis itu mampu menilai karya sastra yang buruk maupun baik, sebab disitulah dapat menganalisa setiap teknis kepenulisaan seseorang. Sehingga, kata dia, ke depannya mampu melihat ejaan dalam tanda baca, pemilihan diksi yang tepat, gaya bahasa dan sebagainya. “Ketika sudah meneliti dengan baik, maka mengetahui karya fiksi itu apakah logika dalam ceritanya sudah pas atau tidak,” ungkap Sandi.
Dalam kesempatan itu, Sandi pun mengajak penulis agar lebih memahami tiap alur, plot dan setting cerita agar mengandung kisah yang logis untuk dibaca. Sebenarnya, kata dia, itu hal yang paling dasar untuk menjadi seorang penulis.
“Pada dasarnya menjadi penulis, dia sudah beres dulu terkait penempatan tata bahasanya. Baru kemudian, komponen cerpen itu,” ucap peraih buku cerpen pilihan Kompas 2019 itu.
Baca Juga : PDIP Kalsel Gelar Upacara, Berry Nahdian Beri Pesan Ini di Hari Lahir Pancasila
Menurutnya, karya cerpen itu harus menarik dalam bungkusan alur, judul, serta memulai paragraf untuk pembuka kisahnya, hingga memasuki isi cerita dan endingnya. Sebab itulah, kata Sandi, karena cerita pendek maka menulis cerpen itu tidak perlu bertele-tele.
“Cerpen itu mengisahkan satu pokok permasalahan saja. Fokus, kalo pun ada permasalahan lain maka harus kembali ke pokok masalah itu,” tutur Founder Asyikasyik itu.
Pengecualian, kata Sandi, menulis novel maka diperbolehkan banyak masalah di dalamnya. Dalam pengalamannya, kata dia, treatmen menulis novel harus kontinyu dan tidak boleh ada jeda, ketika mengerjakan naskah tersebut. “Kalo menulis novel, memang jangan ada jeda. Itu pengalaman pribadiku, setiap hari harus ada bahkan 2 paragraf pun,” jelasnya.
Baca Juga : Siti Setiyani, Cerita Seorang Kader TBC Komunitas
Terkait persoalan menyusun cerpen, bagi Sandi tiap penulis berbeda treatmennya. Masing-masing, kata dia, memiliki polanya tersendiri untuk menggarap sebuah karya fiksi berupa cerpen maupun novel.
“Ada yang menyelesaikan naskah sekali duduk. Itu bagus, walau nanti beberapa kali untuk mengedit ulang,” katanya.
Sebaiknya, kata Sandi, seorang penulis itu wajib untuk memeriksa ulang tulisannya. Karena, kata dia, saat proses menulis itu hanya cuma menyelesaikan tiap halaman saja.
Baca Juga : Porseni NU 2023, Kontingen Kalsel Masuk Peringkat 13 Besar
“Penulis berpengalaman pun melakukan itu, walaunya banyak diubah dan sebagainya. Tidak masalah,” kata penulis buku novel Lampau itu.
Bagi penulis pemula di Kalimantan Selatan, Sandi mengarahkan pasca menulis harus menguji karya fiksinya ke media, supaya ada yang menilai serta memeriksa sejauh mana karya seseorangnya tersebut.
“Pada akhirnya kita menguji karya sastra kita ya. Dalam pengertian, sejauh mengetahui karya itu apakah layak untuk dibaca atau tidak. Tidak ada cara lain untuk kita (penulis) mengirimkannya ke media. Karena itulah ruangnya, supaya menguji karya fiksi yang kita buat.”
Baca Juga : Porseni NU 2023, Kontingen Kalsel Masuk Peringkat 13 Besar
Peserta kelas cerpen, Rasidah Rasyid merasa seru mendapatkan pembelajaran tentang karya sastra, serta mengenal banyak komunitas di Wetland. Tidak menyadari, kata dia, bahwa banyak penulis lokal yang luar biasa dalam pertemuan ini.
“Sebelumnya cuma mengenal dari luar aja. Mulanya tertarik dunia sastra, sejak memasuki awal perkuliahan pada 2018. Itu pun cuma membaca aja, kini sudah menulis,” cerita Rasidah, alumni mahasiswa Ilmu Alqur’an dan Tafsir (IAT) FUH, UIN Antasari.
Awal-awal, kata Rasidah, menulis puisi saja yang akhirnya merambah ke naskah cerpen. Sebenarnya, kata dia, mudah menulis puisi ketimpang cerpen. “Dari mendengar materi tadi, ya tinggal mengaplikasikan aja lagi yang cukup sulit,” ucapnya tersenyum.
Baca Juga : Porseni NU 2023, Kontingen Kalsel Masuk Peringkat 13 Besar
Sebelumnya, Rasidah telah memiliki 15 antologi bersama penyair lainnya. Dengan memasuki kelas cerpen ini, dia ingin mempelajari lebih jauh lagi dunia karya fiksi. “Karya sastra yang disuka yaitu Habiburrahman El Shirazy, Asma Nadia dan Jee Luvina,” tandasnya.(*)